Kontroversi Sewa Kain di Jalur Pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho: Antara Tradisi dan Pungutan Liar

markdown Praktik penyewaan kain bagi pendaki Gunung Lawu yang melintasi jalur Candi Cetho, Karanganyar, Jawa Tengah, menuai polemik. Kebijakan yang memungut biaya Rp 5.000 per kain ini menimbulkan pertanyaan di kalangan pendaki dan masyarakat, apakah tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) atau bagian dari upaya menjaga kesakralan wilayah setempat.

Kejadian ini mencuat ke permukaan setelah video yang memperlihatkan proses penyewaan kain tersebut viral di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat beberapa pendaki yang keberatan dengan adanya biaya tambahan ini. Pihak yang mengenakan biaya berdalih bahwa kain tersebut berfungsi sebagai penolak bala dan menjaga kesucian area yang dianggap sakral. Meskipun mendapat protes, pendaki tetap diwajibkan untuk menggunakan kain yang disewakan.

Menurut Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Karanganyar, Hari Purnomo, praktik ini dilakukan oleh seorang warga setempat bernama Jayadi di wilayah Anggrasmanis, setelah pos pendakian pertama. Jayadi mengklaim bahwa lokasi tersebut memiliki nilai spiritual terkait dengan Murco Brawijaya, sehingga setiap pendaki yang melintas harus mengenakan kain sebagai bentuk penghormatan.

Jayadi mengarahkan para pendaki melalui jalur alternatif yang ia buat sendiri, dengan syarat mereka harus menyewa kain yang telah disediakan. Pendaki mengenakan kain tersebut sebentar, kemudian melepaskannya setelah melewati area yang dianggap sakral. Pihak Disparpora menegaskan bahwa penarikan biaya ini tidak memiliki izin resmi dan berada di wilayah tanggung jawab Perhutani.

Disparpora Karanganyar telah berkoordinasi dengan Perhutani untuk menindaklanjuti permasalahan ini. Surat teguran telah dilayangkan kepada Jayadi, namun yang bersangkutan belum mengindahkan peringatan tersebut. Sebagai solusi, Disparpora berencana mengadakan mediasi yang melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk Perhutani, Jayadi, Muspika Jenawi, Satpol PP, kepala desa Anggrasmanis dan Gumeng, serta Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Eko, seorang relawan Lawu Via Cetho, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melaporkan kejadian ini kepada Disparpora Karanganyar. Ia menyayangkan tindakan oknum yang mengatasnamakan lembaga tertentu dalam melakukan penarikan biaya sewa kain tersebut. Eko khawatir kejadian ini akan berdampak negatif terhadap minat pendaki untuk melalui jalur Cetho, karena banyak keluhan terkait praktik pungli ini. Ia juga membantah klaim Jayadi mengenai Murco Brawijaya, dengan menyatakan bahwa bangunan di lokasi tersebut baru didirikan sekitar tahun 2019 dan tidak memiliki dasar sejarah yang kuat.

Permasalahan ini menjadi sorotan karena menyangkut kepentingan berbagai pihak, antara lain pendaki, masyarakat setempat, pemerintah daerah, dan pengelola kawasan hutan. Solusi yang adil dan bijaksana perlu segera ditemukan agar tidak merugikan siapapun dan tetap menjaga kelestarian serta kesakralan Gunung Lawu.