Kebijakan Ekspor Nikel Filipina Mengancam Industri Smelter Indonesia: Strategi Mitigasi dan Peluang Investasi

Industri pengolahan nikel (smelter) di Indonesia menghadapi tantangan baru dengan rencana Pemerintah Filipina untuk menghentikan ekspor bijih nikel mulai Juni 2025. Kebijakan ini berpotensi mengganggu pasokan bahan baku, terutama bagi smelter yang selama ini mengandalkan impor dari Filipina.

Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno, mengungkapkan bahwa ketergantungan beberapa smelter dalam negeri pada pasokan nikel kadar tinggi dari Filipina dapat membuat mereka rentan terhadap gangguan pasokan. Pada tahun 2024, Indonesia mengimpor sekitar 10 juta ton bijih nikel dari Filipina. Kondisi ini diperparah dengan semakin langkanya sumber daya nikel kadar tinggi di Indonesia.

"Larangan ekspor ini dapat menyebabkan kekurangan pasokan bahan baku bagi smelter yang bergantung pada impor tersebut," ujar Djoko.

Djoko juga memperkirakan bahwa larangan ekspor ini dapat memperketat pasokan global dan memicu kenaikan harga nikel. Meskipun kondisi ini mungkin menguntungkan produsen nikel domestik dalam jangka pendek, namun dapat meningkatkan biaya produksi bagi smelter yang masih mengimpor nikel. Disisi lain, krisis pasokan membuka peluang investasi di sektor hilirisasi Indonesia.

Untuk menghadapi tantangan ini, Djoko menekankan perlunya dukungan pemerintah dalam bentuk:

  • Kepastian hukum
  • Kemudahan perizinan
  • Insentif investasi

Hal ini penting agar Indonesia dapat memanfaatkan peluang dari berkurangnya pasokan nikel global.

Djoko menyarankan beberapa langkah strategis untuk mengurangi dampak kebijakan Filipina, antara lain:

  • Mempercepat persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk meningkatkan produksi dalam negeri.
  • Melakukan diversifikasi sumber impor.
  • Meningkatkan efisiensi operasi smelter.
  • Mengembangkan teknologi untuk mengolah bijih nikel kadar rendah.

Langkah-langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan dari luar negeri.

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdana Kusumah, menyatakan bahwa FINI telah mengetahui rencana Filipina untuk melarang ekspor mineral mentah, termasuk nikel, mulai Juni 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong hilirisasi pertambangan dan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

"FINI saat ini terus memantau isu tersebut dan masih mempelajari detil dampak dari kebijakan Pemerintah Filipina," kata Arif.

Arif juga menambahkan bahwa kebijakan ini berpotensi mempengaruhi pasokan dan harga nikel global, termasuk di Indonesia. Ia berharap pemerintah dan pelaku industri dapat mengambil langkah antisipatif sejak dini.