Kejagung Jerat Koordinator Buzzer dengan UU Tipikor: Diduga Rintangi Penyidikan Kasus Korupsi Besar
Kejaksaan Agung (Kejagung) memperluas cakupan penyidikan kasus perintangan penyidikan dengan menjerat M Adhiya Muzakki (MAM), seorang koordinator buzzer, dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Langkah ini diambil setelah penetapan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB), sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
MAM diduga terlibat dalam upaya menghalangi penyidikan terhadap tiga perkara korupsi besar yang tengah ditangani Kejagung, yaitu:
- Dugaan korupsi di PT Timah
- Kasus impor gula yang menyeret mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong)
- Kasus dugaan suap ekspor crude palm oil (CPO)
Penjeratan buzzer dengan UU Tipikor ini menjadi preseden baru dalam penegakan hukum di Indonesia, mengingat selama ini buzzer lebih sering dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Peran dan Jeratan Hukum Buzzer
Menurut pengamat media sosial, buzzer adalah kelompok atau akun anonim di media sosial yang menyebarkan informasi dengan motif ideologis atau ekonomi. Mereka berbeda dengan influencer yang memiliki identitas dan reputasi jelas.
Sebelumnya, buzzer yang menyebarkan informasi tidak benar atau melakukan perundungan dapat dijerat dengan UU ITE. Pasal 28 UU ITE mengatur tentang larangan menyebarkan informasi bohong atau menyesatkan yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik, menghasut kebencian berdasarkan SARA, atau menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Pelanggar pasal ini dapat dipidana penjara hingga enam tahun dan denda Rp 1 miliar.
Perbuatan MAM dalam Kasus Ini
Dalam kasus ini, MAM dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor tentang perintangan penyidikan. Pasal ini mengatur tentang ancaman pidana bagi siapa saja yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara korupsi. Ancaman hukumannya adalah penjara minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun, serta denda minimal Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa MAM bertindak sebagai koordinator buzzer yang menerima pesanan dari seorang advokat bernama Marcella Santoso (MS). MAM kemudian membentuk tim cyber army yang terdiri dari sekitar 150 orang buzzer yang dibagi menjadi lima tim.
Tim buzzer ini bertugas menyebarkan dan memberikan komentar yang membenarkan konten negatif yang dibuat oleh Direktur Pemberitaan nonaktif JAK TV, Tian Bahtiar (TB). Selain itu, mereka juga membuat video dan konten negatif berdasarkan materi yang diberikan oleh Marcella dan advokat Junaedi Saibih, lalu mempublikasikannya di media sosial. Konten-konten tersebut berisi narasi yang mendiskreditkan penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Kejagung.
Atas perbuatannya, MAM diduga menerima uang sebesar Rp 864.500.000, sementara para buzzer mendapatkan bayaran Rp 1,5 juta per orang. Untuk menghindari penanganan perkara, MAM juga diduga merusak dan menghilangkan barang bukti berupa handphone yang berisi percakapan dengan Marcella dan Junaedi terkait konten negatif tersebut. Saat ini, MAM ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari untuk kepentingan penyidikan.
Pengembangan Kasus
Penetapan MAM sebagai tersangka merupakan pengembangan dari penyidikan perkara Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Tian Bahtiar, yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor CPO. Kejagung juga telah menetapkan delapan tersangka lain dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di PN Jakarta Pusat terkait kasus vonis lepas ekspor CPO terhadap tiga perusahaan.
Tersangka lainnya termasuk Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG), serta kuasa hukum korporasi, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri. Selain itu, tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ekspor CPO, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom juga menjadi tersangka.
Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei, juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyiapkan uang suap Rp 60 miliar untuk hakim Pengadilan Tipikor Jakarta melalui pengacaranya. Kejaksaan menduga Muhammad Arif Nuryanta menerima suap Rp 60 miliar, sementara tiga hakim lainnya diduga menerima uang suap Rp 22,5 miliar. Suap tersebut diberikan agar majelis hakim memvonis lepas kasus ekspor CPO.