Korupsi Sistemik: Menelusuri Pasar Gelap Kekuasaan di Balik Layar Demokrasi
Di balik gemerlap panggung politik dan retorika demokrasi, tersembunyi sebuah realitas kelam: pasar gelap kekuasaan. Sebuah arena tersembunyi di mana jabatan, pengaruh, dan kebijakan diperjualbelikan layaknya komoditas, jauh dari sorotan publik dan akuntabilitas.
Pasar gelap ini beroperasi di luar mekanisme formal pemerintahan. Ia tidak tercermin dalam agenda rapat parlemen, tidak diatur dalam konstitusi, dan tidak disinggung dalam konferensi pers partai politik. Namun, keberadaannya sangat nyata, tumbuh subur di lorong-lorong kekuasaan yang remang-remang. Di sini, loyalitas bukan lagi didasarkan pada ideologi atau prinsip, melainkan pada nilai tukar. Kekuasaan tidak diraih melalui kepercayaan rakyat, melainkan melalui transaksi tersembunyi. Kursi menteri, rekomendasi pemilihan kepala daerah, otoritas penegakan hukum, bahkan pasal-pasal undang-undang dapat dinegosiasikan, dibeli, dan dijual.
Transaksi di pasar gelap kekuasaan berlangsung secara diam-diam, seringkali dalam pertemuan rahasia di hotel mewah, percakapan pribadi yang tidak direkam, atau bahkan melalui tatapan mata yang menyampaikan pesan tersirat. Meskipun tidak ada tanda terima atau kontrak formal, ada komitmen dan konsesi yang mengikat para pelaku. Konstitusi dan kepentingan rakyat seringkali dikorbankan demi kepentingan individu atau kelompok yang memiliki modal politik dan ekonomi.
Dampak yang Merusak
Pasar gelap kekuasaan telah membentuk kembali wajah kekuasaan. Pengusaha dapat membeli pengaruh politik, politisi dapat menyewakan kesetiaannya, dan aparat penegak hukum dapat memperdagangkan kewenangannya. Demokrasi hanya menjadi prosedur formalitas, sementara keputusan sesungguhnya dibuat di ruang-ruang tertutup yang tidak terjangkau oleh hukum, pers, atau akuntabilitas publik.
Institusi-institusi negara kehilangan independensinya karena tunduk pada kekuasaan informal. Lembaga penegak hukum kehilangan ketajamannya karena menunggu aba-aba politik. Lembaga legislatif kehilangan kehormatannya karena sibuk menjajakan pengaruh. Kepercayaan publik terkikis, dan fondasi demokrasi menjadi rapuh.
Akar Masalah
Pasar gelap kekuasaan bukanlah sekadar masalah moral individu. Ia tumbuh subur dari sistem yang rusak, termasuk partai politik yang oligarkis, pemilu yang transaksional, dan birokrasi yang rentan terhadap tekanan kekuasaan.
Praktik-praktik seperti mahar politik dalam pencalonan, bagi-bagi jabatan pasca-pemilu, dan negosiasi proyek berdasarkan afiliasi politik hanyalah gejala dari ekosistem yang memperlakukan kekuasaan sebagai barang dagangan. Di daerah, calon kepala daerah harus "membeli perahu" untuk bisa maju. Di tingkat pusat, kursi kabinet dapat menjadi hasil lelang koalisi. Semua ini dibungkus rapi dalam bahasa diplomatis: akomodasi politik.
Konsekuensi Bagi Masyarakat
Akibatnya, kebijakan tidak lagi dirumuskan demi kepentingan publik, melainkan berdasarkan siapa yang "berjasa" di belakang layar. Proyek dirancang bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan berdasarkan siapa yang memodali kampanye. Undang-undang disusun tergesa-gesa, tidak berpihak pada publik, tetapi menguntungkan segelintir orang. Individu yang tidak memiliki pengalaman dalam pelayanan publik tiba-tiba menduduki posisi penting karena "berkontribusi politik".
Harapan dan Tantangan
Membongkar pasar gelap kekuasaan bukanlah tugas yang mudah. Perubahan dari dalam sistem mungkin sulit diharapkan, karena banyak aktor yang menggantungkan hidupnya pada pasar ini. Gerakan dari luar, yang terdiri dari warga yang sadar, media yang berani, dan suara-suara independen, mungkin menjadi harapan.
Namun, jalan ini panjang dan penuh tantangan. Kita tidak hanya menghadapi rezim politik, tetapi juga budaya diam yang telah menjadi kebiasaan. Kita telah terlalu lama membiarkan prinsip digantikan oleh kepentingan, menganggap transaksi sebagai bagian normal dari politik, dan mentoleransi pemimpin yang berbicara tentang etika tetapi bertransaksi di balik layar.
Semakin lama kita membiarkan ini terjadi, semakin dalam pasar gelap ini mengakar. Yang kita butuhkan bukan hanya hukum yang lebih keras, tetapi juga kesadaran baru bahwa kekuasaan tidak seharusnya diperjualbelikan, bahwa jabatan bukanlah hak milik, tetapi amanah, dan bahwa politik, jika dijalankan dengan benar, adalah seni membela yang lemah, bukan membela yang membayar.