Pergeseran Konsumsi Rokok Picu Kekhawatiran Penurunan Penerimaan Cukai

Fenomena downtrading, yaitu peralihan konsumsi masyarakat ke rokok dengan harga yang lebih terjangkau, menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi penurunan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT). Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, mengungkapkan bahwa tren ini, ditambah dengan tidak adanya kenaikan tarif cukai yang direncanakan pada tahun 2025, dapat mempengaruhi target penerimaan CHT secara signifikan.

Indikasi perlambatan pertumbuhan penerimaan CHT sebenarnya sudah terlihat sejak beberapa tahun terakhir. Data menunjukkan pertumbuhan yang melambat, dari 23 persen pada tahun 2020 menjadi hanya 10 persen pada tahun 2023 dan 2024. Ironisnya, penurunan ini tidak diiringi dengan peningkatan volume produksi hasil tembakau. Bahkan, produksi mengalami penurunan sebesar 9,7 persen pada tahun 2020, sempat tumbuh 4 persen di tahun 2021, namun kembali mengalami kontraksi pada tahun-tahun berikutnya. Penurunan tercatat sebesar 3,3 persen pada tahun 2022, 1,8 persen pada tahun 2023, dan 0,2 persen pada tahun 2024.

Pada kuartal pertama tahun 2025, penerimaan CHT tercatat tumbuh 5,6 persen menjadi Rp 55,7 triliun. Namun, di balik angka tersebut, tersimpan fakta bahwa produksi rokok secara keseluruhan mengalami penurunan sebesar 4,2 persen pada periode yang sama. Penurunan terdalam terjadi pada produksi rokok golongan I, yang mencapai lebih dari 10,9 persen. Sementara itu, rokok golongan II dan III masih menunjukkan pertumbuhan, masing-masing sebesar 3,1 persen dan 7,4 persen. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa tingginya tarif cukai pada rokok golongan I menjadi salah satu faktor pendorong konsumen untuk beralih ke rokok dengan harga yang lebih rendah.

"Dua faktor utama yang memengaruhi penerimaan cukai tembakau adalah kebijakan tarif dan volume produksi rokok yang dilekati pita cukai," jelas Askolani dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI. Ia menambahkan bahwa penurunan produksi rokok juga dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat, yang memaksa mereka untuk mencari alternatif rokok yang lebih murah.

Upaya penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal terus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Selama kuartal I 2025, DJBC telah melakukan 2.928 penindakan di bidang hasil tembakau dengan nilai penindakan mencapai Rp 367,6 miliar. Dari penindakan tersebut, berhasil diamankan 257,27 juta batang rokok ilegal yang beredar di pasar domestik, termasuk yang berasal dari impor.

Selain penindakan, DJBC juga aktif melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya mengonsumsi rokok ilegal dan pelanggaran aturan dalam produksi dan distribusinya. Edukasi ini dianggap penting karena modus operandi produksi dan distribusi rokok ilegal terus berkembang. Modus pengangkutan tidak lagi menggunakan truk, melainkan menggunakan moda transportasi lain yang sulit dilacak. Selain itu, banyak juga ditemukan rokok ilegal yang diselundupkan melalui barang kiriman, memanfaatkan ekspedisi sebagai sarana distribusi. Volume penyelundupan melalui ekspedisi ini juga menunjukkan peningkatan yang signifikan.