Dalang Buzzer Ditahan Kejagung Atas Kasus Obstruction of Justice
Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) menahan M. Adhiya Muzakki (MAM), yang dikenal sebagai bos buzzer, setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan perintangan penyidikan (obstruction of justice). Penahanan ini terkait dengan penanganan perkara korupsi yang melibatkan beberapa kasus besar, termasuk dugaan korupsi PT Timah, impor gula, dan suap penanganan ekspor Crude Palm Oil (CPO).
"Tersangka akan ditahan selama 20 hari ke depan, terhitung mulai hari ini, berdasarkan Surat Perintah Penahanan No. 31 tanggal 7 Mei 2025. Yang bersangkutan ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung," tegas Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (7/5/2025).
Penetapan Adhiya sebagai tersangka merupakan hasil pengembangan penyidikan yang menemukan indikasi kuat keterlibatannya dalam pemufakatan jahat. Ia diduga berkolaborasi dengan tiga tersangka lain yang telah ditahan sebelumnya, yaitu Marcella Santoso (MS) seorang advokat, Junaedi Saibih (JS) yang juga berprofesi sebagai advokat, dan Tian Bahtiar (TB), Direktur Pemberitaan non-aktif dari JAK TV.
Dalam jaringan ini, Adhiya berperan sebagai ketua tim cyber army yang memiliki tugas khusus untuk mengkoordinasi sekitar 150 buzzer. Mereka bertugas membuat dan menyebarkan konten negatif yang ditujukan untuk mendiskreditkan Kejaksaan Agung dan khususnya jajaran Jampidsus. Konten-konten tersebut kemudian disebarluaskan melalui berbagai platform media sosial dan media online.
Para buzzer ini diarahkan untuk secara aktif menyebarkan dan memberikan komentar negatif pada konten yang diproduksi oleh Tian Bahtiar. Tujuan utama dari operasi ini adalah untuk menciptakan narasi negatif di mata publik yang merugikan citra Kejaksaan Agung.
Dari aktivitas ilegal ini, Adhiya diduga menerima total dana sebesar Rp864.500.000. Atas perbuatannya, ia dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021, juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Adhiya kini mendekam di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut.
Kasus ini merupakan pengembangan dari penyidikan kasus dugaan suap terkait penanganan perkara ekspor CPO yang melibatkan tiga korporasi besar, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Perkara ini sebelumnya bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan vonis lepas terhadap tiga perusahaan tersebut dalam kasus ekspor CPO. Para tersangka sebelumnya termasuk:
- Muhammad Arif Nuryanta, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (saat kejadian menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat)
- Wahyu Gunawan (WG), Panitera Muda Perdata Jakarta Utara
- Marcella Santoso, kuasa hukum korporasi
- Ariyanto Bakri, kuasa hukum korporasi
- Djuyamto, Ketua Majelis Hakim
- Agam Syarif Baharuddin, Anggota Majelis Hakim
- Ali Muhtarom, Anggota Majelis Hakim
- Muhammad Syafei, Social Security Legal Wilmar Group
Muhammad Syafei, Social Security Legal Wilmar Group, juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga berperan sebagai pihak yang menyiapkan dana suap sebesar Rp 60 miliar untuk para hakim Pengadilan Tipikor Jakarta melalui pengacaranya. Dana ini diduga diberikan dengan tujuan mempengaruhi putusan perkara.
Kejaksaan menduga Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menerima suap sebesar Rp 60 miliar. Sementara itu, tiga hakim yang bertugas sebagai majelis hakim, yaitu Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, diduga menerima uang suap sebesar Rp 22,5 miliar. Suap ini diberikan dengan harapan agar majelis hakim memberikan vonis lepas (ontslag van alle recht vervolging) dalam kasus ekspor CPO tersebut. Vonis lepas sendiri merupakan putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.