Koperasi Desa Merah Putih: Harapan Baru atau Ulangan Sejarah Kebijakan Desa?
Koperasi Desa Merah Putih: Harapan Baru atau Ulangan Sejarah Kebijakan Desa?
Pemerintah kembali meluncurkan program pembangunan ekonomi desa melalui pendirian Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Inisiatif ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan, khususnya melalui akses pendanaan yang lebih terjangkau dan penjaminan harga jual hasil pertanian. Kopdes Merah Putih direncanakan sebagai lembaga keuangan yang menyediakan layanan simpan pinjam, sekaligus berfungsi sebagai offtaker hasil pertanian dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Setiap koperasi akan menerima pendanaan Rp 5 miliar dari perbankan BUMN, dan pengembangannya akan dilakukan melalui tiga skenario: pendirian koperasi baru, revitalisasi koperasi eksisting, atau pembentukan kelompok tani sebagai cikal bakal koperasi. Selain itu, Kopdes Merah Putih juga akan dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti cold storage, gudang, dan armada transportasi untuk menunjang distribusi produk.
Namun, keberhasilan program ini patut dipertanyakan mengingat sejarah panjang program serupa yang kurang optimal. Pengalaman dengan Koperasi Unit Desa (KUD) pada era Orde Baru, yang akhirnya mengalami kemerosotan akibat berbagai faktor seperti ketidakjelasan kebijakan dan lemahnya tata kelola, menjadi pelajaran berharga. Begitu pula dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang, meskipun memiliki fleksibilitas lebih tinggi, masih menunjukkan ketergantungan yang signifikan terhadap pendanaan pemerintah dan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Desa (PADes) masih relatif rendah (2-4% berdasarkan penelitian tahun 2024). Total alokasi Dana Desa sejak 2015 hingga 2024 mencapai sekitar Rp 610 triliun, namun dampaknya terhadap pembangunan ekonomi desa yang berkelanjutan masih perlu dievaluasi secara menyeluruh.
Ancaman Pengulangan Kesalahan dan Perlunya Strategi Integratif
Pertanyaan krusial yang muncul adalah: apakah Kopdes Merah Putih akan menjadi solusi efektif atau hanya pengulangan kesalahan masa lalu? Alih-alih menciptakan entitas baru yang berpotensi tumpang tindih dengan program yang sudah ada, pemerintah seharusnya memprioritaskan revitalisasi dan penguatan BUMDes yang telah tersebar di seluruh Indonesia. Dengan demikian, sumber daya yang telah dialokasikan untuk BUMDes dapat dioptimalkan dan menghindari pemborosan anggaran. Strategi ini lebih efektif dan efisien daripada menciptakan program baru yang membutuhkan investasi besar dan berisiko mengalami nasib serupa dengan KUD.
Penguatan BUMDes dapat dilakukan melalui berbagai intervensi, seperti peningkatan kapasitas manajerial, perbaikan tata kelola, dan peningkatan daya saing. Pemerintah juga dapat memberikan dukungan permodalan, memperluas akses pasar, serta menyediakan pendampingan teknis dan manajemen. Dengan demikian, BUMDes dapat menjalankan fungsi yang diharapkan dari Kopdes Merah Putih, tanpa harus menambah beban birokrasi dan potensi duplikasi program.
Kesimpulannya, keberhasilan Kopdes Merah Putih sangat bergantung pada strategi yang komprehensif dan terintegrasi. Pemerintah harus belajar dari pengalaman masa lalu dan menghindari pengulangan kesalahan. Prioritas utama seharusnya adalah penguatan BUMDes yang ada, agar investasi besar yang telah dialokasikan tidak sia-sia dan dapat benar-benar meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara berkelanjutan. Jika tidak, Kopdes Merah Putih berisiko menjadi program lain yang gagal memberikan dampak nyata bagi masyarakat pedesaan.
Desti Fitriani, Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Peneliti di bidang akuntabilitas pemberdayaan desa.