Tiga Tahun Beroperasi, KEK Singhasari Dihadang Protes Warga: Janji Manis yang Belum Terbukti?
Malang, Jawa Timur - Sebuah ironi mencuat di tengah ambisi besar pemerintah dalam mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singhasari. Setelah tiga tahun beroperasi, alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi lokal dan pusat inovasi berbasis pariwisata sejarah, KEK Singhasari justru menuai gelombang protes dari warga sekitar. Spanduk-spanduk bernada penolakan menghiasi jalanan menuju kawasan tersebut, menjadi simbol kekecewaan dan harapan yang belum terpenuhi.
KEK Singhasari, yang diresmikan pada 27 September 2019, digadang-gadang sebagai KEK pertama di Indonesia yang memadukan pengembangan teknologi dengan sektor pariwisata berbasis warisan budaya dan sejarah. Terletak strategis di kaki Gunung Arjuna, kawasan ini diharapkan menjadi penghubung antara kekayaan sejarah Kerajaan Singhasari dengan inovasi digital masa depan. Dengan luas wilayah mencapai 120,3 hektare, KEK Singhasari diharapkan mampu menarik investasi, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Malang dan sekitarnya.
Namun, janji-janji manis tersebut tampaknya belum sepenuhnya dirasakan oleh warga Desa Klampok, Kecamatan Singosari. Belasan spanduk protes yang terpasang di berbagai titik dekat KEK menjadi bukti nyata kekecewaan mereka. Salah satu spanduk bahkan secara blak-blakan meminta pembubaran KEK, karena dinilai tidak memberikan manfaat bagi warga setempat. Ungkapan kekesalan ini mencerminkan frustrasi warga yang merasa terpinggirkan dan tidak dilibatkan dalam proses pembangunan KEK.
Tokoh budaya Singosari, Ki Ardhi Purbo Antono, menjelaskan bahwa aksi protes ini merupakan akumulasi kekesalan warga yang telah lama dipendam. Ia menilai bahwa kebijakan KEK dirancang dan dijalankan tanpa melibatkan partisipasi aktif warga serta mengabaikan kearifan lokal. Menurutnya, KEK Singhasari seharusnya mampu menghidupkan kembali semangat kejayaan masa lalu dan melestarikan nilai-nilai adat, tradisi, dan kebudayaan Singosari. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, KEK dinilai tidak memberikan kontribusi signifikan dalam menjaga dan mengembangkan warisan budaya lokal.
Berikut beberapa poin yang menjadi sorotan warga:
- Kurangnya dampak positif: Warga merasa bahwa KEK Singhasari belum memberikan manfaat nyata bagi kehidupan mereka, baik dari segi ekonomi maupun sosial budaya.
- Stagnasi pembangunan: Pembangunan KEK dinilai berjalan lambat dan tidak sesuai dengan harapan warga.
- Kurangnya partisipasi warga: Warga merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait KEK.
- Pengabaian kearifan lokal: Kebijakan KEK dinilai tidak memperhatikan nilai-nilai adat, tradisi, dan kebudayaan Singosari.
Protes warga terhadap KEK Singhasari menjadi sebuah peringatan bagi pemerintah dan pengelola kawasan tersebut. Keberhasilan sebuah proyek pembangunan tidak hanya diukur dari angka investasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari dampaknya terhadap kehidupan masyarakat sekitar. Partisipasi aktif warga, pelestarian kearifan lokal, dan pemerataan manfaat menjadi kunci utama dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. KEK Singhasari perlu berbenah diri, merangkul warga, dan membuktikan bahwa janji-janji manis yang dulu diucapkan dapat menjadi kenyataan.