Tragedi Bus Berulang: Anggaran Keselamatan Dipangkas, Sistem Pengawasan Terabaikan
Kecelakaan maut bus Antar Lintas Sumatera (ALS) di Padang Panjang, Sumatera Barat, yang merenggut 12 jiwa, termasuk anak-anak, kembali menjadi sorotan tajam terhadap kondisi keselamatan transportasi di Indonesia. Tragedi ini seolah menggarisbawahi permasalahan sistemik yang berakar pada kurangnya perhatian terhadap aspek keselamatan. Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, menyoroti bahwa akar masalahnya terletak pada pengabaian negara terhadap keselamatan transportasi.
Djoko Setijowarno, yang juga merupakan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menyebutkan bahwa keselamatan transportasi saat ini berada dalam kondisi darurat, ditandai dengan tingginya frekuensi kecelakaan dan fatalitas yang menyertainya. Ia mengkritik keras pemotongan anggaran keselamatan di Kementerian Perhubungan, termasuk anggaran operasional Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Pemangkasan anggaran ini berdampak pada pembinaan dan pengawasan yang seharusnya dilakukan, serta penghentian program Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) yang vital bagi operator angkutan umum.
Program SMK berfungsi sebagai sistem manajemen risiko kecelakaan. Tanpa adanya SMK, pengawasan menjadi lumpuh. Padahal, sistem ini mengatur manajemen risiko kecelakaan. Di sisi lain, kondisi pengemudi angkutan umum, terutama bus dan truk, semakin mengkhawatirkan. Data KNKT tahun 2024 menunjukkan rasio pengemudi terhadap jumlah kendaraan telah memasuki zona berbahaya. Banyak pengemudi yang bekerja melebihi batas waktu yang wajar tanpa istirahat yang cukup. Hal ini diperparah dengan tidak adanya regulasi yang jelas mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan fasilitas istirahat bagi pengemudi, yang meningkatkan risiko kelelahan ekstrem dan micro sleep, yang menjadi penyebab umum kecelakaan.
Djoko Setijowarno juga menekankan bahwa 84% kecelakaan lalu lintas di Indonesia disebabkan oleh dua faktor utama: kegagalan sistem pengereman dan kelelahan pengemudi. Ia menambahkan bahwa pengemudi tidak hanya harus memiliki kemampuan teknis mengemudi yang baik dan pengetahuan lalu lintas, tetapi juga kepribadian dan kompetensi yang baik, termasuk skill, knowledge, dan attitude, agar dapat melayani dan menghargai penumpang dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan.
Selain faktor manusia dan sistem, kondisi infrastruktur jalan yang minim pemeliharaan juga menjadi penyebab utama kecelakaan. Fasilitas keselamatan seperti rambu, marka jalan, guardrail, dan penerangan jalan umum (PJU) tidak lagi terpelihara dengan baik karena keterbatasan anggaran. Koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah pusat dan daerah terkait pemantauan titik rawan kecelakaan di jalan nasional juga terhenti, sehingga tidak ada lagi sistem pemantauan yang berjalan aktif.
Djoko Setijowarno menekankan bahwa keseriusan dalam mengakhiri kecelakaan harus dimulai dengan penganggaran program keselamatan di Kementerian Perhubungan. Ia mendesak agar anggaran keselamatan tidak dikurangi, tetapi justru ditambah, agar angka kecelakaan tidak terus meningkat. Dengan demikian, keselamatan transportasi dapat ditingkatkan dan tragedi serupa dapat dicegah di masa depan.
-
Berikut adalah poin penting yang perlu diperhatikan:
-
Pemotongan anggaran keselamatan berdampak besar pada sistem transportasi.
- Kelelahan pengemudi menjadi faktor utama penyebab kecelakaan.
- Infrastruktur jalan yang minim pemeliharaan memperburuk kondisi keselamatan.
- Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah perlu ditingkatkan.
- Anggaran keselamatan harus ditambah untuk mencegah kecelakaan.