Sengketa Legalitas Rekaman dalam Sidang Kasus Harun Masiku, Tim Hukum Hasto Ajukan Keberatan
Debat Sengit di Pengadilan Tipikor: Legalitas Rekaman Jadi Sorotan dalam Sidang Kasus Harun Masiku
Persidangan kasus dugaan suap dan upaya menghalangi penyidikan yang menyeret nama Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI-P, diwarnai perdebatan sengit mengenai legalitas alat bukti. Tim kuasa hukum Hasto mempertanyakan keabsahan rekaman percakapan antara Riezky Aprilia, mantan anggota DPR RI, dengan Saeful Bahri yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Alvon Kurnia Palma, salah satu anggota tim kuasa hukum Hasto, berpendapat bahwa rekaman tersebut diperoleh secara ilegal karena dilakukan tanpa persetujuan dari pihak yang direkam. Ia berargumen bahwa tindakan ini melanggar prinsip kerahasiaan yang dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Menurutnya, meski rekaman tersebut kini dijadikan alat bukti, keabsahannya patut dipertanyakan mengingat tidak adanya izin dari pihak yang terlibat percakapan.
Rekaman yang diperdengarkan di persidangan mengungkap percakapan antara Riezky dan Saeful yang terjadi di Singapura pada 25 September 2019. Riezky mengklaim bahwa rekaman tersebut membuktikan adanya tekanan dari Saeful agar dirinya mengundurkan diri sebagai calon anggota legislatif. Alvon menekankan bahwa legalitas suatu alat bukti harus diuji sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ia berpendapat bahwa rekaman ini tidak memenuhi standar tersebut karena tidak diperoleh melalui prosedur yang sah sesuai dengan undang-undang. Alvon juga menambahkan kekhawatirannya bahwa jika rekaman semacam ini dibenarkan, maka seluruh aktivitas pribadi yang terekam, termasuk melalui CCTV, dapat disalahgunakan tanpa persetujuan.
Pihak KPK, melalui JPU, memberikan tanggapan bahwa rekaman tersebut merupakan inisiatif dari Riezky sendiri untuk memperkuat keterangannya. Setelah diserahkan kepada jaksa, rekaman tersebut kemudian disita secara resmi dan dijadikan bagian dari alat bukti yang sah. JPU menegaskan bahwa KPK tidak melakukan perekaman, melainkan menerima rekaman tersebut dari saksi.
Ketua Majelis Hakim, Rios Rahmanto, berusaha menengahi perdebatan yang terjadi. Ia menyatakan bahwa keberatan dari penasihat hukum akan dicatat dan dipertimbangkan secara seksama dalam proses penilaian akhir. Hakim Rios menegaskan bahwa semua pihak memiliki hak untuk mengajukan bukti masing-masing, dan keputusan mengenai sah atau tidaknya suatu bukti akan diambil berdasarkan pertimbangan majelis hakim. Ia menyarankan agar penasihat hukum menyampaikan argumen terkait ketidakabsahan rekaman dalam pembelaan (pledoi), yang kemudian akan dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Perdebatan mengenai legalitas rekaman ini menambah kompleksitas dalam persidangan kasus Harun Masiku. Putusan hakim mengenai keabsahan rekaman tersebut akan memiliki implikasi signifikan terhadap jalannya persidangan dan nasib para pihak yang terlibat.
Tantangan Pembuktian dalam Kasus Korupsi
Kasus ini menyoroti tantangan yang sering dihadapi dalam pembuktian tindak pidana korupsi, terutama dalam hal penggunaan alat bukti elektronik. Di satu sisi, alat bukti elektronik seperti rekaman dapat memberikan informasi yang berharga dan memperkuat dugaan tindak pidana. Namun, di sisi lain, penggunaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, termasuk hak atas privasi dan perlindungan data pribadi. Pengadilan harus berhati-hati dalam menimbang manfaat dan risiko penggunaan alat bukti elektronik, serta memastikan bahwa alat bukti tersebut diperoleh secara sah dan tidak melanggar hak-hak pihak yang terlibat. Perdebatan mengenai legalitas rekaman dalam kasus Harun Masiku ini menjadi contoh konkret dari dilema yang sering dihadapi dalam penegakan hukum di era digital.
Implikasi Hukum dan Etika
Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai batas-batas kewenangan penegak hukum dalam memperoleh alat bukti. Sejauh mana penegak hukum dapat menggunakan alat bukti yang diperoleh secara diam-diam tanpa persetujuan pihak yang terlibat? Bagaimana cara menyeimbangkan antara kepentingan penegakan hukum dengan hak-hak individu? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya relevan dalam konteks kasus Harun Masiku, tetapi juga dalam konteks penegakan hukum secara umum. Perlu ada pedoman yang jelas dan tegas mengenai penggunaan alat bukti elektronik agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia.