Tumpang Tindih Peta Hutan Hambat Peremajaan Sawit Rakyat

Polemik Lahan Sawit Bersertifikat dalam Kawasan Hutan Picu Kendala Peremajaan

Implementasi Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Kawasan Hutan menuai sorotan dari kalangan petani kelapa sawit. Regulasi yang bertujuan untuk menertibkan tata kelola pertambangan, perkebunan, dan aktivitas lainnya di kawasan hutan ini, melalui pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), justru menimbulkan masalah baru bagi petani sawit.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspekpir), Setiyono, mengungkapkan bahwa banyak lahan sawit milik petani yang telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) selama puluhan tahun tiba-tiba diklaim masuk ke dalam kawasan hutan oleh Satgas PKH. Kondisi ini menyebabkan lahan tersebut tidak dapat diajukan untuk program peremajaan sawit, serta tidak dapat dijadikan jaminan untuk mendapatkan modal usaha.

"Kami sangat terkejut ketika lahan yang sudah bersertifikat selama 30 tahun tiba-tiba dinyatakan sebagai kawasan hutan," ujar Setiyono dalam sebuah diskusi di Universitas Pancasila, Jakarta. Ia menekankan bahwa penetapan kawasan hutan seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, dan petani yang telah memiliki sertifikat hak atas tanah seharusnya tidak perlu lagi mengajukan perizinan ulang.

Menurut data Aspekpir, sekitar 4.000 hektar lahan sawit milik petani di Riau telah diklaim sebagai kawasan hutan. Bahkan, dalam satu koperasi, dari total 1.000 hektar lahan, sekitar 80 hektar dinyatakan masuk ke dalam kawasan hutan versi Satgas PKH. Hal ini tentu saja meresahkan para petani, karena mayoritas penghasilan mereka bergantung pada perkebunan sawit.

Praktisi hukum kehutanan, Sadino, menjelaskan bahwa akar permasalahan ini terletak pada belum adanya satu peta kehutanan yang seragam. Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) baru muncul pada tahun 1982-1986, sementara peta tanah dan batas administratif sudah ada lebih dulu. Akibatnya, terjadi tumpang tindih (overlapping) peta yang menyebabkan ketidakpastian hukum.

"Tumpang tindih peta ini pasti terjadi, dan ini yang harus dicatat sebagai masalah utama," kata Sadino.

Sementara itu, Koordinator I Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Ardito Muwardi, menyatakan bahwa Satgas PKH mendorong kementerian dan lembaga terkait untuk segera merapikan peta kawasan hutan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Ia juga menekankan pentingnya menjaga iklim investasi yang aman.

Dampak dan Solusi

Masalah tumpang tindih lahan ini memberikan dampak yang sangat signifikan bagi petani sawit. Selain tidak dapat mengikuti program peremajaan sawit, mereka juga kesulitan untuk mendapatkan akses permodalan. Hal ini tentu saja dapat mengancam keberlangsungan usaha perkebunan sawit rakyat, yang merupakan tulang punggung perekonomian bagi banyak keluarga.

Beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini antara lain:

  • Harmonisasi Peta: Pemerintah perlu segera melakukan harmonisasi peta kawasan hutan dengan peta tanah dan batas administratif yang sudah ada. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk petani, pemerintah daerah, dan instansi terkait.
  • Verifikasi dan Validasi Data: Perlu dilakukan verifikasi dan validasi data secara cermat terhadap lahan-lahan yang diklaim masuk ke dalam kawasan hutan. Proses ini harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan melibatkan partisipasi aktif dari petani.
  • Kepastian Hukum: Pemerintah harus memberikan kepastian hukum bagi petani yang memiliki lahan sawit bersertifikat. Jika lahan tersebut terbukti masuk ke dalam kawasan hutan, pemerintah perlu memberikan kompensasi yang layak kepada petani.
  • Sosialisasi dan Edukasi: Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, khususnya petani sawit, mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait kawasan hutan. Hal ini penting agar petani memahami hak dan kewajiban mereka.

Diharapkan dengan adanya solusi yang komprehensif, masalah tumpang tindih lahan ini dapat segera diatasi, sehingga petani sawit dapat kembali menjalankan usaha perkebunan mereka dengan tenang dan produktif.