Dugaan Korupsi di Sektor Migas: Investigasi Mendalam Tata Kelola Impor dan Distribusi BBM
Dugaan Korupsi di Sektor Migas: Investigasi Mendalam Tata Kelola Impor dan Distribusi BBM
Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah melakukan investigasi terkait dugaan korupsi di tubuh Pertamina, yang berdampak pada kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah. Investigasi ini, yang telah berujung pada penahanan sembilan pejabat perusahaan sub holding dan anak perusahaan Pertamina, mengarahkan sorotan publik pada praktik blending atau pencampuran bahan bakar minyak (BBM). Namun, penting untuk meluruskan kesalahpahaman publik terkait penggunaan istilah “oplosan”, yang dalam konteks ini, merujuk pada proses blending yang merupakan bagian integral dan ilmiah dalam produksi BBM. Proses blending ini melibatkan pencampuran berbagai senyawa dan aditif untuk menghasilkan berbagai jenis BBM seperti Pertalite, Pertamax 92, Pertamax 95, dan Pertamax 98.
Mitos dan Fakta Blending BBM: Penting untuk ditegaskan bahwa proses blending BBM bukanlah praktik ilegal atau berbahaya. Tuduhan “oplosan” yang berkonotasi negatif justru menimbulkan kekhawatiran dan keresahan di masyarakat, yang berpotensi merugikan Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) Indonesia. Fokus investigasi semestinya diarahkan pada dugaan penyelewengan dalam pengadaan dan distribusi BBM, serta impor minyak mentah (crude) yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Kasus kerusakan puluhan kendaraan di Jabodetabek yang sempat dikaitkan dengan kualitas BBM Pertamax 92 perlu diselidiki secara terpisah dan mendalam, dengan menelusuri alur distribusi BBM dari kilang hingga SPBU untuk mengidentifikasi potensi kesalahan teknis di level operasional.
Tragedi Impor dan Tata Kelola Migas yang Lemah: Krisis BBM di Indonesia sejak tahun 2004 telah memaksa negara menjadi pengimpor BBM dengan kebutuhan mencapai 1,5 juta barel per hari. Produksi dalam negeri yang hanya sekitar 750 ribu barel per hari menciptakan defisit signifikan. Kondisi ini diperparah oleh rendahnya persentase jatah pemerintah (government entitlement) dari produksi minyak dalam negeri, yaitu hanya 51,1% antara tahun 2002-2023, seperti dikutip dari makalah M. Kholid Syeirazi. Sisanya dikendalikan oleh kontraktor, termasuk Pertamina. Meskipun terdapat peraturan Domestic Market Obligation (DMO) yang mengatur kewajiban penyerahan minyak dan/atau gas bumi (25%) oleh kontraktor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, defisit tetap ada, dan di sinilah praktik korupsi diduga marak.
Lemahnya pengawasan, terutama terkait lelang BBM yang tidak melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah (LKPP) dan minimnya pemanfaatan teknologi seperti Internet of Things (IoT), membuka celah bagi praktik korupsi. Impor minyak mentah ditangani oleh PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), sementara impor BBM ditangani oleh PT Pertamina Patra Niaga (PPN). Kejanggalan muncul dari dugaan impor BBM RON 90 dengan harga RON 92 oleh PT PPN, kemudian di-blending untuk mencapai spesifikasi RON 92. Hal ini harus menjadi fokus investigasi Kejagung. Selain itu, investigasi juga perlu menelisik ekspor BBM dari kilang domestik sementara Indonesia masih merupakan importir bersih BBM. Hal ini menimbulkan dugaan adanya praktik curang yang merugikan negara.
Langkah Pemerintah ke Depan: Pemerintah perlu melanjutkan investigasi yang komprehensif, tidak hanya pada proses blending tetapi juga pada seluruh rantai pasok, dari produksi kilang hingga distribusi. Data dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas dapat menjadi acuan penting untuk mengidentifikasi pelaku mafia migas. Penegakan hukum yang tegas dan transparan sangat diperlukan untuk memberikan efek jera dan memulihkan kepercayaan publik. Pemanfaatan teknologi IoT dan sistem subsidi yang lebih efektif, misalnya dengan cashback langsung ke rekening penerima, perlu diimplementasikan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi.
Kejagung juga perlu memperbaiki cara penyampaian informasi kepada publik agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan kepanikan. Penggunaan istilah yang tepat dan komunikatif akan menghindari polemik yang tidak perlu dan memungkinkan fokus investigasi tertuju pada isu utama, yaitu dugaan korupsi dalam pengelolaan migas di Indonesia.