Gelombang PHK Massal: Negara Diduga Telat Bertindak, Nasib Buruh Terkatung-katung
Pagi yang seharusnya menjadi awal produktivitas bagi ribuan buruh, justru diwarnai kecemasan mendalam. Bayang-bayang pemutusan hubungan kerja (PHK) menghantui, merayap di antara langkah tergesa menuju pabrik, menyisip dalam percakapan singkat di warung kopi, dan terpancar jelas dari raut wajah yang menyimpan ketidakpastian. Tahun 2025 menjadi saksi bisu gelombang PHK yang tak terhindarkan.
Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat angka yang mencengangkan, yakni 18.610 kasus PHK hanya dalam kurun waktu dua bulan pertama tahun ini. Jawa Tengah menjadi episentrum pemecatan massal, menyumbang 57 persen dari total kasus PHK secara nasional, dengan 10.677 pekerja kehilangan mata pencaharian. Namun, di balik angka-angka statistik tersebut, tersembunyi kisah-kisah pilu tentang trauma, rasa malu, dan beban hidup yang tak terukur.
Reaksi Terlambat Pemerintah
Menyikapi situasi tersebut, pemerintah akhirnya bereaksi dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK. Presiden Prabowo Subianto, dalam peringatan Hari Buruh 2025, menyampaikan komitmen untuk melindungi hak-hak pekerja dan mencegah PHK lebih lanjut. Namun, pernyataan tersebut terasa pahit, mengingat ribuan buruh telah kehilangan pekerjaan sebelum negara turun tangan.
Satgas PHK yang melibatkan berbagai kementerian terkait, serikat buruh, dan pelaku usaha ini bertugas untuk:
- Mencegah PHK
- Memastikan hak-hak pekerja terpenuhi
- Memetakan peluang kerja baru
Namun, tanpa landasan hukum yang kuat dan anggaran khusus, efektivitas Satgas PHK masih diragukan. Hingga saat ini, konsep pembentukan Satgas masih dalam tahap penyusunan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, Kemenko Perekonomian, dan Sekretariat Negara.
Dampak Jangka Panjang PHK
Seharusnya, pemerintah telah mengantisipasi potensi PHK sejak tahun 2024, ketika sektor industri mulai menunjukkan tanda-tanda kelesuan. Pemetaan risiko dan langkah-langkah preventif seharusnya telah dilakukan, bukan menunggu hingga buruh menjadi sekadar angka dalam statistik.
PHK bukan hanya tentang kehilangan pekerjaan, tetapi juga membawa konsekuensi sosial yang luas, seperti:
- Anak-anak putus sekolah
- Kehilangan akses kesehatan
- Utang menumpuk
- Potensi kekerasan dalam rumah tangga
Pemerintah dinilai terlambat menyadari dampak PHK karena terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi makro yang tidak dirasakan oleh para pekerja di lapangan.
Minimnya Perlindungan dan Respons Cepat
Salah satu aspek yang paling menyakitkan dari PHK massal adalah minimnya perlindungan dan respons cepat dari negara. Pengaduan buruh seringkali tidak ditindaklanjuti dengan cepat, mekanisme mediasi berjalan lambat, dan tidak ada saluran komunikasi yang efektif untuk menjawab kegelisahan para pekerja.
Bahkan, BPJS Ketenagakerjaan, yang seharusnya menjadi jaring pengaman sosial, seringkali terjebak dalam birokrasi yang rumit. Dalam situasi seperti ini, para pengusaha memiliki keleluasaan untuk memberikan ancaman, dan praktik perantara outsourcing semakin tidak terkendali.
Padahal, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Membiarkan buruh dipecat tanpa perlindungan yang memadai bukan hanya pelanggaran hukum ketenagakerjaan, tetapi juga pelanggaran terhadap konstitusi.
Janji-Janji yang Belum Terpenuhi
Selain membentuk Satgas PHK, pemerintah juga berencana membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Namun, tanpa komitmen regulatif dan anggaran yang jelas, dewan ini berpotensi hanya menjadi forum konsultatif yang tidak efektif.
Buruh telah terlalu lama diberi janji-janji manis, mulai dari upah layak, penghapusan outsourcing, hingga pengesahan RUU PPRT. Janji-janji ini terus diulang setiap tahun, namun realisasinya masih jauh dari harapan.
Pemerintah yang membiarkan buruh kehilangan pekerjaan tanpa perlawanan, sejatinya telah menanggalkan rasa malunya. Di balik angka 18.610 kasus PHK, terdapat kisah-kisah tentang anak-anak yang bertanya mengapa ayah mereka tiba-tiba berada di rumah, istri yang terpaksa mengurangi belanja dapur, dan buruh yang memilih mematikan ponsel karena malu ditagih cicilan.
Kehilangan pekerjaan bukan hanya kehilangan penghasilan, tetapi juga kehilangan martabat. Jika negara hanya datang untuk memberikan simpati tanpa solusi konkret, maka negara pun kehilangan wibawanya.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Satgas PHK hanya akan efektif jika memiliki kewenangan yang jelas untuk menindak perusahaan yang melakukan PHK sepihak, memaksa pengusaha membayar pesangon, dan menolak alasan efisiensi sebagai kedok eksploitasi.
Negara harus melindungi buruh sebagaimana ia melindungi investor, berbicara tegas sebagaimana ia menekan aktivis, dan bergerak cepat sebagaimana ia mengurus proyek strategis nasional. Buruh tidak meminta belas kasihan, mereka hanya meminta perlindungan.
Mungkin masih ada harapan jika Satgas PHK dibentuk dengan landasan hukum yang kuat, Dewan Buruh dibentuk bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai penentu arah kebijakan, dan pemerintah benar-benar turun tangan, bukan hanya sekadar memberikan janji.
Harapan tidak bisa menggantung di udara. Ia membutuhkan tindakan cepat, regulasi yang tegas, dan keberpihakan yang nyata. Buruh sudah terlalu lama menunggu, dan kali ini, mereka ingin negara hadir sebelum pintu pabrik ditutup selamanya.