Menyembelih Hewan Kurban untuk Almarhum: Tinjauan Hukum Islam
Ibadah kurban, yang dilakukan setiap Hari Raya Idul Adha, merupakan manifestasi ketaatan dan kepedulian sosial umat Islam. Penyembelihan hewan kurban seperti sapi, kambing, atau domba, menjadi simbol pengorbanan dan berbagi rezeki kepada sesama, khususnya bagi mereka yang membutuhkan. Ibadah ini dilaksanakan pada tanggal 10 hingga 12 Dzulhijjah, setelah shalat Idul Adha.
Kurban termasuk dalam kategori sunnah muakkadah, yaitu amalan sunnah yang sangat dianjurkan bagi umat Muslim yang mampu secara finansial. Anjuran ini menekankan pentingnya berkurban sebagai wujud syukur atas nikmat Allah SWT dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya.
Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai praktik berkurban atas nama orang yang telah meninggal dunia? Apakah pahala dari ibadah tersebut dapat sampai kepada almarhum? Pertanyaan ini memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang didasarkan pada interpretasi terhadap dalil-dalil syariat.
Perbedaan Pendapat Ulama
Perbedaan pendapat mengenai hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal disebabkan oleh perbedaan penafsiran terhadap dalil-dalil syariat. Berikut adalah beberapa pandangan yang berkembang di kalangan ulama:
- Mazhab Syafi'i: Mazhab ini berpendapat bahwa kurban atas nama orang yang telah meninggal tidak diperbolehkan, kecuali jika almarhum semasa hidupnya telah berwasiat untuk melaksanakan kurban atau telah menyisihkan hartanya secara khusus untuk tujuan tersebut. Tanpa adanya wasiat, pahala kurban dianggap tidak dapat sampai kepada almarhum. Pandangan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah An-Najm ayat 39 yang menyatakan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.
- Mazhab Hanafi dan Hanbali: Berbeda dengan mazhab Syafi'i, kedua mazhab ini membolehkan kurban untuk orang yang sudah meninggal, meskipun tanpa adanya wasiat. Mereka berpendapat bahwa sebagaimana pahala sedekah dan haji dapat disampaikan kepada orang yang telah wafat, demikian pula dengan pahala kurban. Dalil yang mendukung pandangan ini adalah hadits tentang seorang wanita yang ibunya meninggal dunia sebelum menunaikan nazar haji. Rasulullah SAW memperbolehkan wanita tersebut untuk melaksanakan haji atas nama ibunya.
- Mazhab Maliki: Mazhab ini mengambil posisi tengah, yaitu membolehkan kurban untuk orang yang meninggal, namun dianggap kurang dianjurkan jika tidak disertai wasiat. Artinya, meskipun diperbolehkan, amalan ini tidak dianggap sebagai amalan yang utama.
Kesimpulan
Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum berkurban untuk orang yang telah meninggal menunjukkan bahwa masalah ini bersifat khilafiyah (ada perbedaan pendapat). Oleh karena itu, umat Islam diberikan kebebasan untuk memilih pendapat yang dianggap paling sesuai dengan keyakinan dan pemahaman mereka. Namun, dalam memilih pendapat, sebaiknya dilakukan dengan penuh pertimbangan dan berdasarkan ilmu pengetahuan yang memadai.