Polemik Pungutan Kain di Gunung Lawu: Praktik Kontroversial LMDH Anggramanis Terungkap

Praktik Pungutan Liar di Gunung Lawu Terungkap: Modus Operandi dan Klarifikasi Pelaku

Praktik pungutan liar (pungli) yang meresahkan para pendaki Gunung Lawu, khususnya melalui jalur Cetho, akhirnya terkuak. Keluhan demi keluhan yang viral di media sosial mengantarkan pada penelusuran lebih lanjut mengenai praktik kontroversial yang telah berlangsung sejak tahun 2021 ini. Pihak berwenang telah mengambil tindakan tegas untuk menghentikan kegiatan tersebut setelah ramainya keluhan yang beredar.

Dalang di balik praktik ini ternyata adalah kelompok Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Anggramanis, yang dipimpin oleh seorang bernama Jayadi. Modus operandi yang mereka gunakan terbilang cerdik. Mereka membelokkan jalur pendakian yang seharusnya lurus, mengarahkan para pendaki untuk melewati wilayah yang mereka klaim sebagai area pengelolaan, yaitu kawasan wisata religi Pamoksan Brawijaya, Anggramanis. Di sinilah pungutan sebesar Rp 5.000 dikenakan kepada setiap pendaki dengan dalih menjaga kesakralan lokasi tersebut.

Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disparpora) Karanganyar, Hari Purnomo, menyatakan bahwa pihaknya telah mengambil langkah cepat dengan mengeluarkan surat pernyataan yang ditujukan kepada Jayadi agar segera menghentikan segala bentuk operasional pungutan liar di wilayah tersebut. Tindakan ini diambil sebagai respons atas keresahan yang dirasakan oleh para pendaki dan masyarakat luas.

Penjelasan Lebih Lanjut dari Berbagai Pihak

Menurut penuturan Eko Supardi Mamora, seorang anggota Relawan Cetho (Reco), praktik ini bermula dari inisiatif LMDH Anggramanis untuk membangun jalur baru berupa anak tangga pada tahun 2019. Jalur ini menghubungkan Candi Kethek dan Pos 1 Mbah Brantil. Setelah jalur baru ini selesai dibangun, LMDH Anggramanis diduga menutup jalur resmi yang lama dengan menggunakan pagar, memaksa para pendaki untuk melewati jalur yang mereka kelola.

Reco mengaku telah berupaya membuka kembali jalur resmi tersebut, namun selalu dihalangi oleh kelompok Jayadi. Bahkan, laporan kepada pihak yang lebih tinggi dan surat teguran dari Perhutani pun seolah tidak mempan menghentikan praktik pungutan liar ini. Eko juga menambahkan bahwa Reco kerap menerima keluhan dari para pendaki terkait pungutan tersebut dan menyambut baik tindakan tegas dari Pemkot Karanganyar untuk menutup jalur baru dan menghentikan seluruh aktivitas pungutan.

Jayadi, Ketua LMDH Anggramanis, memberikan klarifikasi terkait praktik ini. Ia membenarkan bahwa pemakaian kain memang telah dimulai sejak tahun 2021. Ia berdalih bahwa hal ini dilakukan untuk menjaga kesakralan kawasan wisata religi Pamoksan Brawijaya yang dilalui oleh para pendaki. Menurutnya, LMDH Anggramanis memiliki perjanjian kerja sama (PKS) dengan Perhutani sejak tahun 2019 untuk mengelola tempat wisata tersebut.

Menanggapi soal pungutan Rp 5.000, Jayadi menjelaskan bahwa uang tersebut digunakan untuk keperluan kebersihan jalur dan pemeliharaan fasilitas seperti pancuran yang ada di kawasan tersebut. Ia juga menekankan bahwa pungutan ini tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai bentuk kontribusi sukarela dari para pendaki yang ingin ikut berpartisipasi dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.

Terlepas dari alasan yang diberikan oleh Jayadi, praktik pungutan liar ini tetap menuai kecaman dari berbagai pihak. Diharapkan dengan tindakan tegas dari pemerintah dan kesadaran dari semua pihak, praktik serupa tidak akan terulang kembali di Gunung Lawu maupun tempat wisata lainnya.