Penghapusan Outsourcing: Secercah Harapan atau Kecemasan Baru Bagi Pekerja Kontrak?

Respon Pekerja Outsourcing Terhadap Wacana Penghapusan Sistem Alih Daya

Wacana penghapusan sistem outsourcing yang digaungkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, menuai beragam reaksi dari para pekerja alih daya. Bagi sebagian, ini adalah angin segar yang menjanjikan kepastian kerja dan kesejahteraan. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran akan dampak yang mungkin timbul dari perubahan kebijakan ini.

Budi, seorang petugas kebersihan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, mengaku lega dengan adanya wacana tersebut. Pengalaman tujuh tahun bekerja dengan status outsourcing telah menumbuhkan rasa cemas akan potensi PHK. “Kalau memang benar dihapuskan, kami lebih tenang sedikit,” ungkapnya. Ketidakpastian ekonomi global dan maraknya berita PHK menjadi momok yang menghantui Budi dan rekan-rekan seprofesinya.

Sejak lulus SMK, Budi telah malang melintang mencari pekerjaan yang layak. Sempat bekerja di Tangerang selama lima tahun, ia kemudian hijrah ke Jakarta demi penghasilan yang lebih baik. Meskipun sama-sama berstatus outsourcing, upah di Jakarta lebih menjanjikan. Namun, statusnya sebagai pekerja alih daya membuatnya tidak mendapatkan tunjangan hari raya dan jaminan kesehatan, padahal ia memiliki keluarga yang harus dinafkahi. Budi berharap pemerintah dapat memberikan aturan yang jelas dan mengatasi masalah PHK yang menghantui para pekerja outsourcing.

Lain halnya dengan Hendi, seorang petugas kebersihan yang baru enam bulan bekerja di sebuah kantor di Jakarta Selatan. Ia mengaku belum mengetahui wacana penghapusan sistem outsourcing. Selama bekerja, ia mendapatkan gaji dari perusahaan penyedia jasa, namun tidak menerima THR saat Idul Fitri. Meskipun demikian, ia mendapatkan sumbangan dari karyawan kantor tempatnya bekerja. Sebagai pekerja baru, Hendi berharap kebijakan yang diambil pemerintah dapat memberikan harapan akan status pekerjaan yang lebih pasti. Ia juga berharap pemerintah dapat menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.

Sejarah dan Kontroversi Sistem Outsourcing di Indonesia

Sistem outsourcing di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Awalnya, praktik ini sudah lazim digunakan di berbagai sektor usaha dengan sebutan pemborongan atau subkontraktor. Pada tahun 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri melegalkan sistem outsourcing melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan adanya payung hukum ini, perusahaan alih daya menjamur di Indonesia.

Undang-undang tersebut mengatur bahwa perusahaan penyedia tenaga kerja alih daya wajib memenuhi hak-hak pekerja. Selain itu, hanya pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan. Namun, legalisasi outsourcing menuai protes dari berbagai kalangan karena dianggap tidak memberikan kejelasan status dan kepastian kesejahteraan bagi pekerja alih daya. Status karyawan outsourcing adalah sebagai pekerja dari perusahaan penyalur tenaga kerja, bukan karyawan di tempat ia bekerja. Akibatnya, perusahaan tempat bekerja tidak memiliki kewajiban terhadap kesejahteraan karyawan outsourcing.

Wacana penghapusan sistem outsourcing ini membuka kembali perdebatan mengenai perlindungan dan kesejahteraan pekerja di Indonesia. Pemerintah diharapkan dapat mengambil kebijakan yang adil dan bijaksana, sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan kesejahteraan bagi seluruh pekerja, baik yang berstatus outsourcing maupun karyawan tetap.

  • Pekerja berharap adanya kejelasan aturan terkait outsourcing.
  • Pemerintah diharapkan mampu mengatasi masalah PHK.
  • Pekerja outsourcing tidak mendapatkan fasilitas tunjangan hari raya dan jaminan kesehatan.
  • Outsourcing dilegalkan melalui Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.