Rumitnya Benang Kusut Perumahan Indonesia: Fahri Hamzah Soroti Akar Masalah dan Solusi
Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, baru-baru ini menyoroti sejumlah persoalan krusial yang menghambat perkembangan sektor perumahan di Indonesia. Dalam sebuah forum diskusi, ia mengidentifikasi akar permasalahan yang kompleks, mulai dari regulasi yang lemah hingga tantangan di sisi suplai dan permintaan.
Akar Masalah: Regulasi dan Institusi yang Tidak Solid
Fahri Hamzah menekankan bahwa fondasi regulasi yang rapuh menjadi penyebab utama ketidakstabilan dalam sektor perumahan. Regulasi yang tidak solid melahirkan institusi yang juga tidak solid, yang pada gilirannya menghambat upaya konsisten dan berkelanjutan dalam pengembangan perumahan. Ia mencontohkan perubahan struktur kementerian yang menangani perumahan, yang sebelumnya tergabung dalam berbagai departemen dengan nama dan fokus yang berbeda. Kondisi ini menyebabkan hilangnya kesempatan untuk mengumpulkan dan mempertahankan para ahli terbaik di bidang perumahan, yang seharusnya dapat memberikan rujukan dan panduan yang kuat.
Fahri mengusulkan perlunya konsolidasi hukum sektor perumahan yang kuat, serupa dengan konsep Omnibus Law, untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah intervensi yang dapat mengombang-ambingkan sektor ini oleh rezim yang berbeda. Dengan fondasi hukum yang kokoh, diharapkan akan terbentuk institusi yang solid dan kebijakan publik yang efektif.
Tantangan di Sisi Suplai: Harga Tanah dan Perizinan
Satuan Tugas (Satgas) Perumahan mengidentifikasi dua masalah utama dari sisi suplai, yaitu harga tanah yang melambung tinggi dan proses perizinan yang rumit. Fahri menyoroti bahwa Pasal 33 UUD 1945 mengenai pemanfaatan tanah seringkali diabaikan, sehingga tanah dibiarkan menjadi komoditas spekulatif yang harganya tidak terkendali. Praktik pembelian tanah secara besar-besaran oleh investor dari kota di wilayah pedesaan semakin memperparah situasi, membuat harga tanah menjadi tidak terjangkau untuk pembangunan perumahan.
Ia mengusulkan agar pemerintah memberikan subsidi pada tanah, bukan hanya pada kredit perbankan. Menurutnya, porsi harga tanah yang mencapai 30-40 persen dari harga rumah sangat memberatkan pengembang. Subsidi tanah akan membantu menekan biaya produksi dan memungkinkan pembangunan rumah yang lebih terjangkau.
Selain itu, Fahri menekankan pentingnya desentralisasi dan penyederhanaan proses perizinan. Ia menyoroti banyaknya perizinan yang harus diurus oleh pengembang di berbagai instansi, yang memakan waktu dan biaya. Kemudahan perizinan akan mendorong investasi dan mempercepat pembangunan perumahan.
Terakhir, ia mengusulkan pembentukan lembaga yang membantu pengembang dalam memasarkan rumah subsidi setelah selesai dibangun. Dengan adanya lembaga ini, perusahaan konstruksi dan inovasi tidak perlu lagi memikirkan aspek pemasaran, sehingga dapat fokus pada peningkatan kualitas dan efisiensi pembangunan.
Permasalahan di Sisi Permintaan: Data yang Tidak Akurat
Dari sisi permintaan, Fahri menyoroti masalah database yang tidak akurat. Ia menyatakan bahwa berbagai institusi pemerintah seringkali mengeluarkan data yang berbeda-beda mengenai jumlah keluarga dan kebutuhan perumahan. Ketidakakuratan data ini menyulitkan perencanaan dan penyaluran bantuan perumahan yang tepat sasaran.
Fahri mendukung upaya pemerintah untuk mewujudkan satu data melalui Instruksi Presiden (Inpres) Satu Data Indonesia. Dengan data yang akurat dan terintegrasi, diharapkan program-program perumahan dapat lebih efektif dan efisien.