UU BUMN Tahun 2025 Picu Kontroversi, MK Jadi Tumpuan Sengketa Kewenangan KPK

UU BUMN Tahun 2025: Gugatan ke MK Mengemuka di Tengah Polemik Kewenangan KPK

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) tengah menjadi sorotan tajam. Pasal-pasal dalam UU ini memicu perdebatan sengit terkait batasan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan direksi dan komisaris BUMN.

Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI, menyarankan agar pihak-pihak yang merasa keberatan dengan UU BUMN ini menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, MK adalah forum yang tepat untuk menguji konstitusionalitas pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

"Tentu ketika ada warga yang bertanya kepada saya, saya katakan ya silakan gugat ke Mahkamah Konstitusi, kalau Anda merasa tidak cocok dengan pasal tersebut," ujar Nasir Djamil di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera ini menekankan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga setiap permasalahan hukum harus diselesaikan melalui mekanisme yang telah ditetapkan. Ia menambahkan bahwa Komisi III DPR RI tidak terlibat langsung dalam penyusunan UU BUMN, sehingga menyerahkan sepenuhnya kepada MK sebagai mitra kerja.

Pasal Kontroversial dan Dampaknya pada Kewenangan KPK

Kekhawatiran utama muncul karena UU BUMN ini berpotensi menghapus kewenangan KPK untuk menangkap dan memproses hukum direksi BUMN. Hal ini disebabkan oleh dua pasal kunci dalam UU tersebut, yaitu:

  • Pasal 3X Ayat (1): Menyatakan bahwa organ dan pegawai BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
  • Pasal 9G: Menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.

Kedua pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang KPK, yang memberikan wewenang kepada KPK untuk mengusut tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Pasal 11 Ayat (1) UU KPK secara jelas menyebutkan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain, terutama jika menyangkut kerugian negara minimal Rp 1 miliar.

Respons KPK dan Langkah Selanjutnya

Menanggapi polemik yang berkembang, KPK menyatakan akan melakukan kajian mendalam terhadap UU BUMN. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menjelaskan bahwa Biro Hukum dan Kedeputian Penindakan akan menganalisis dampak aturan baru ini terhadap penegakan hukum yang dapat dilakukan oleh KPK.

"Tentunya dengan adanya aturan yang baru perlu ada kajian baik itu dari Biro Hukum maupun dari Kedeputian Penindakan untuk melihat sampai sejauh mana aturan ini akan berdampak terhadap penegakan hukum yang bisa dilakukan di KPK," kata Tessa di Gedung Merah Putih, Jakarta.

KPK akan mengevaluasi apakah perubahan status direksi BUMN menjadi non-penyelenggara negara akan membatasi kemampuannya dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan mereka. Jika status tersebut menghalangi KPK untuk bertindak, maka KPK tidak dapat melanjutkan penanganan kasus tersebut.

Perkembangan situasi ini akan terus dipantau, dan langkah selanjutnya akan ditentukan berdasarkan hasil kajian internal KPK serta perkembangan di Mahkamah Konstitusi jika ada gugatan yang diajukan.