Sengketa Lahan Kemang: Kriminolog Soroti Indikasi Premanisme dan Korupsi Sistemik
Konflik Lahan di Kemang Raya: Sebuah Analisis Kriminologis
Konflik lahan yang terjadi di kawasan Kemang Raya, Jakarta Selatan, menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak. Adrianus Meliala, seorang ahli kriminologi dari Universitas Indonesia (UI), memberikan analisis mendalam terkait akar permasalahan dan implikasinya terhadap penegakan hukum. Menurutnya, sengketa yang melibatkan klaim kepemilikan lahan oleh PT Lippo Group dan kelompok masyarakat yang menduduki lahan tersebut, bukan sekadar persoalan hukum perdata biasa, melainkan mencerminkan adanya praktik premanisme yang berpotensi terkait dengan tindak pidana korupsi.
Adrianus Meliala menjelaskan bahwa tindakan pendudukan lahan yang disertai dengan kekerasan atau intimidasi merupakan manifestasi dari budaya premanisme yang telah lama mengakar di Indonesia. Ia menyoroti penggunaan kekuatan fisik atau manipulasi sebagai cara untuk memperoleh hak yang bukan milik mereka, yang dalam pandangannya, sangat identik dengan praktik korupsi. "Mengambil sesuatu yang bukan hak kita, itulah esensi dari korupsi," tegasnya saat diwawancarai di lingkungan kampus UI.
Pernyataan Adrianus ini muncul sebagai respons terhadap klaim dari PT Lippo Group yang menyatakan bahwa kelompok yang menduduki lahan tersebut bukanlah ahli waris yang sah, melainkan sekelompok preman. Direktur Eksternal PT Lippo Group, Danang Kemayan Jati, bahkan secara tegas menyatakan bahwa tidak ada ahli waris yang terlibat dalam pendudukan lahan tersebut, melainkan hanya preman.
Lebih lanjut, Adrianus menyoroti penggunaan jasa pihak ketiga atau orang bayaran dalam konflik fisik yang terjadi di Kemang Raya. Menurutnya, baik pihak yang menyerang maupun yang mempertahankan diri dengan menyewa orang lain, sama-sama menunjukkan pola premanisme yang serupa. Ia menekankan bahwa penggunaan cara-cara yang menyimpang dari tata kelola hukum yang berlaku merupakan ciri khas dari premanisme.
Dalam konteks sengketa Kemang, Adrianus menilai bahwa kedua belah pihak telah bertindak di luar batas kewajaran. Ia mengungkapkan bahwa baik pihak yang merasa memiliki tanah maupun pihak yang diserang, tampaknya tidak lagi mengindahkan batasan-batasan hukum yang seharusnya menjadi panduan dalam menyelesaikan sengketa.
Konflik antara PT Lippo Group dan kelompok pendudukan lahan mencapai puncaknya pada hari Rabu, 30 April 2025, setelah negosiasi ulang yang ditawarkan oleh pihak Lippo ditolak oleh pihak yang menguasai lahan. Bentrokan fisik pun tak terhindarkan, bahkan melibatkan penggunaan senjata. Adrianus sangat menyayangkan eskalasi konflik yang melibatkan kekerasan, karena hal itu mencerminkan peningkatan premanisme di Indonesia.
Ia mengingatkan bahwa solusi atas sengketa lahan seharusnya dicari melalui jalur hukum yang sah, bukan dengan cara-cara kekerasan yang justru memperkeruh suasana dan menambah panjang daftar masalah sosial dan hukum di masyarakat. Adrianus juga mengkritik tindakan perusahaan yang melibatkan kekerasan dalam proses negosiasi, karena hal itu dianggap sebagai pelanggaran batas dan berpotensi menjadi tindak pidana.
"Ketika tangan sudah mulai berbicara, maka itu sudah masuk ranah pidana. Artinya, semua pihak harus tahu batasan," tegas Adrianus. Penggunaan senjata dalam konflik lahan merupakan tindakan serius yang dapat meningkatkan tingkat premanisme di Indonesia ke level yang lebih berbahaya.