Pencemaran Nikel di Halmahera Selatan: Air Tercemar, Masyarakat Menderita
Kekhawatiran mendalam menyelimuti masyarakat di sekitar kawasan pertambangan nikel di Obi, Halmahera Selatan. Kehidupan yang dulunya bergantung pada kebersihan sungai dan mata air alami, kini terancam oleh perubahan kualitas air yang drastis. Warga mengeluhkan rasa air yang berubah dan menimbulkan masalah kesehatan, menimbulkan pertanyaan serius tentang dampak industri nikel terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Sebelumnya, sungai-sungai di sekitar Obi menjadi sumber kehidupan utama bagi masyarakat. Air jernih yang mengalir dari mata air digunakan untuk minum, mandi, dan kebutuhan sehari-hari. Namun, sejak kehadiran industri pertambangan nikel, terutama sejak tahun 2012, kondisi ini berangsur-angsur berubah. Menurut pengakuan warga, rasa air kini berbeda, bahkan terkadang disertai gelembung-gelembung yang membuat perut sakit. Ironisnya, keterbatasan ekonomi memaksa mereka untuk tetap mengonsumsi air yang berpotensi tercemar tersebut.
Investigasi yang dilakukan oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) dan The Gecko Project, berdasarkan ribuan email dan laporan internal yang bocor, mengungkap dugaan pencemaran sistematis yang dilakukan oleh Harita Group di Desa Obi, Kawasi. Dokumen-dokumen tersebut mengindikasikan bahwa pencemaran telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Harita Group, sebuah konglomerat sumber daya alam, mengoperasikan kompleks pertambangan dan peleburan nikel yang luas di sekitar Kawasi. Nikel yang dihasilkan digunakan untuk memproduksi baterai kendaraan listrik yang dipasarkan di berbagai negara, termasuk Eropa, China, dan Amerika Serikat. Namun, di balik keuntungan besar yang diraih, terdapat dampak lingkungan yang harus ditanggung oleh masyarakat setempat.
PT Trimegah Bangun Persada (PT TBP), anak perusahaan Harita Group, memulai aktivitas penambangan nikel di pulau Obi pada tahun 2010. Sejak saat itu, tanda-tanda pencemaran mulai terdeteksi. Pada awal tahun 2012, email internal perusahaan menunjukkan adanya kontaminasi kromium heksavalen (Cr6) di sungai Tugaraci, yang merupakan sumber air bagi masyarakat. Kromium heksavalen adalah bahan kimia yang sangat beracun dan bersifat karsinogenik.
Padahal, Indonesia memiliki regulasi yang mengatur kadar Cr6 dalam air minum, yang tidak boleh melebihi 50 mikrogram per liter. Namun, informasi mengenai kontaminasi ini tidak pernah disampaikan kepada masyarakat yang terdampak. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang transparansi dan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Indonesia kini menjadi salah satu produsen nikel terbesar di dunia, dengan Kawasi menyumbang sekitar enam persen dari total produksi nasional. Namun, pertumbuhan industri ini tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Maluku Utara, tempat Obi berada, merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Bahkan, Kawasi sendiri belum memiliki akses yang memadai ke air bersih.
Seorang mantan pekerja Harita Group mengungkapkan bahwa masyarakat yang memiliki kemampuan finansial memilih untuk membeli air minum kemasan. Namun, bagi mereka yang tidak mampu, terpaksa mengonsumsi air yang ada, tanpa mengetahui dampaknya terhadap kesehatan.
Hingga berita ini diterbitkan, Harita Group belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar yang diajukan berulang kali.
Masalah pencemaran nikel di Obi menjadi sorotan penting mengenai pentingnya keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam industri pertambangan. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan serta kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas utama untuk memastikan bahwa pertumbuhan industri tidak mengorbankan kesejahteraan masyarakat setempat.