Perbedaan Metode Ukur Kemiskinan: Antara Data BPS dan Standar Bank Dunia
Perbedaan Metode Ukur Kemiskinan: Antara Data BPS dan Standar Bank Dunia
Kemiskinan merupakan isu kompleks yang melampaui sekadar kekurangan materi. Ia mencerminkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan kegagalan sistemik dalam pembangunan. Pengukuran kemiskinan menjadi krusial untuk memahami realitas sosial dan merumuskan kebijakan yang efektif.
Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar untuk mengukur kemiskinan, berfokus pada kemampuan memenuhi kebutuhan minimal makanan dan non-makanan. Sementara itu, Bank Dunia menerapkan standar internasional berdasarkan pendapatan per hari dalam Purchasing Power Parity (PPP). Perbedaan metodologi ini menghasilkan perbedaan signifikan dalam angka kemiskinan yang dilaporkan.
Garis Kemiskinan Bank Dunia dan Implikasinya
Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan yang berbeda untuk negara-negara dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Untuk negara berpendapatan rendah, garis kemiskinannya adalah 2,15 dollar AS per kapita per hari. Untuk negara berpendapatan menengah ke bawah, garis kemiskinannya adalah 3,65 dollar AS per kapita per hari. Dan untuk negara berpendapatan menengah ke atas, garis kemiskinannya adalah 6,85 dollar AS per kapita per hari. Indonesia sendiri, oleh Bank Dunia diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan menengah atas. Klasifikasi ini didasarkan pada Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia yang mencapai 4.580 dollar AS pada tahun 2022.
Akibatnya, dengan menggunakan standar Bank Dunia, persentase penduduk miskin di Indonesia melonjak signifikan. Laporan Bank Dunia pada April 2025 menunjukkan bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia atau 171,8 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan. Angka ini sangat kontras dengan data BPS per September 2024 yang mencatat angka kemiskinan sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa garis kemiskinan menjadi begitu penting dalam memahami realitas sosial? Garis kemiskinan didefinisikan sebagai ambang batas minimum pendapatan yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Bank Dunia menggunakan beberapa tingkat garis kemiskinan, dihitung dalam satuan dollar AS PPP (Purchasing Power Parity), metode konversi yang menyesuaikan daya beli antar negara.
Namun, pendekatan Bank Dunia tidak lepas dari kritik. Standar internasional ini dianggap kurang mempertimbangkan konteks lokal, seperti struktur harga, kondisi sosial, dan budaya konsumsi suatu negara. Sebagai contoh, biaya hidup di Jakarta tentu berbeda dengan di Papua, namun standar garis kemiskinan yang digunakan seragam.
Pendekatan BPS dan Dilema Kebijakan
Di sisi lain, BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam menetapkan garis kemiskinan. Komponen utamanya adalah makanan yang dihitung dari kebutuhan kalori minimum (2.100 kkal per kapita per hari), serta komponen non-makanan yang mencakup kebutuhan dasar perumahan, pendidikan, transportasi, dan kesehatan. Per Maret 2024, garis kemiskinan nasional Indonesia ditetapkan sekitar Rp 550.458 per kapita per bulan.
Kesenjangan antara statistik nasional dan internasional menciptakan dilema kebijakan. Pemerintah dapat mengklaim penurunan kemiskinan berdasarkan data BPS, namun komunitas internasional melihat Indonesia masih memiliki populasi miskin yang besar. Hal ini dapat memengaruhi penyaluran bantuan internasional, prioritas kebijakan pembangunan, persepsi publik, legitimasi pemerintah, dan pencapaian target-target pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Lebih lanjut, perbedaan ini mengindikasikan bahwa banyak rumah tangga di Indonesia tergolong "miskin semu" atau "hampir miskin". Mereka mungkin tidak tergolong miskin menurut BPS, tetapi sangat rentan jatuh ke dalam kemiskinan jika menghadapi guncangan ekonomi seperti inflasi, kehilangan pekerjaan, atau bencana alam.
Kritik terhadap Garis Kemiskinan Bank Dunia
Banyak ekonom dan aktivis sosial mengkritik pendekatan garis kemiskinan Bank Dunia karena dianggap terlalu sederhana dan kurang mempertimbangkan faktor-faktor lokal. Beberapa kritik utama meliputi:
- Mengabaikan Dimensi Non-Material: Standar Bank Dunia kurang memperhatikan aspek-aspek non-material seperti akses pendidikan, hak atas tanah, dan partisipasi sosial.
- Tidak Memperhitungkan Keragaman Geografis: Biaya hidup yang berbeda di berbagai wilayah Indonesia tidak tercermin dalam standar yang seragam.
- Potensi Manipulasi Politik: Perubahan garis kemiskinan dapat digunakan untuk membenarkan atau menolak klaim keberhasilan pengentasan kemiskinan.
- Fokus pada Pendapatan Mengabaikan Ketimpangan: Pengukuran berbasis pendapatan tidak memperhitungkan ketimpangan dalam akses ke pendidikan dan layanan kesehatan.
Rekomendasi Kebijakan
Menanggapi realitas baru pascakenaikan status pendapatan Indonesia, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah adaptif. Beberapa rekomendasi kebijakan meliputi:
- Revisi Strategi Penanggulangan Kemiskinan: Menggeser fokus dari sekadar bantuan sosial menuju pembangunan kapasitas dan pemberdayaan ekonomi.
- Menargetkan Kelompok Rentan Miskin: Memberikan perhatian khusus kepada kelompok yang hidup di antara garis kemiskinan BPS dan Bank Dunia, yang paling berisiko terperosok kembali ke kemiskinan.
- Memperluas Cakupan Data: Mengintegrasikan data kemiskinan moneter, multidimensional, dan spasial untuk analisis yang lebih komprehensif.
- Fokus pada Pembangunan Daerah: Memberikan prioritas pada pembangunan di daerah-daerah dengan kemiskinan struktural, khususnya di kawasan timur Indonesia.
Garis kemiskinan bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari bagaimana suatu negara menilai dan merespons penderitaan warganya. Kenaikan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah atas adalah sebuah prestasi, namun juga sebuah tantangan. Standar hidup masyarakat harus ditingkatkan seiring dengan ekspektasi global.
Perbedaan mencolok antara angka kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia seharusnya menjadi pengingat bahwa kemiskinan belum sepenuhnya teratasi. Selama masih ada kesenjangan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja, kemiskinan akan terus menjadi masalah yang membelit jutaan orang. Sudah saatnya untuk meninggalkan pendekatan sempit yang hanya berfokus pada angka dan mulai merumuskan kebijakan yang berbasis pada kebutuhan manusia yang nyata. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya naik kelas secara statistik, tetapi juga mencapai kemajuan sejati dalam hal kesejahteraan rakyatnya.