Jual Iris Mata Demi Rupiah: Antara Kebutuhan Mendesak dan Risiko Privasi Mengintai

Di tengah hiruk pikuk Kota Bekasi, sebuah fenomena mengkhawatirkan muncul di sebuah ruko di Jalan Raya Narogong, Rawalumbu. Warga berbondong-bondong mendatangi lokasi tersebut, bukan untuk mencari bantuan sosial atau mengurus administrasi kependudukan, melainkan untuk menukarkan sesuatu yang tak ternilai harganya: data biometrik iris mata mereka dengan sejumlah uang.

Fenomena ini melibatkan aplikasi World App, bagian dari proyek Worldcoin yang kontroversial, yang menawarkan imbalan finansial kepada individu yang bersedia memindai iris mata mereka. Proses pendaftaran terbilang mudah, tanpa memerlukan KTP atau dokumen identitas resmi. Imbalan yang dijanjikan, berkisar antara ratusan ribu rupiah, menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian warga yang tengah bergulat dengan kesulitan ekonomi.

Meri, seorang warga Bekasi, mengaku mendapatkan informasi mengenai pemindaian iris mata dari anaknya. Setelah mendaftar melalui aplikasi, ia dan anaknya menjalani proses pemindaian menggunakan perangkat berbentuk bola yang disebut Orb. Tak lama kemudian, sejumlah uang ditransfer ke rekening mereka. Pengalaman Meri menjadi gambaran betapa mudahnya data biometrik pribadi diperjualbelikan.

Namun, di balik iming-iming uang cepat, tersembunyi risiko besar yang mengintai. Pertanyaan mendasar muncul: Apakah masyarakat benar-benar memahami konsekuensi jangka panjang dari menyerahkan data biologis yang unik dan tak tergantikan? Ataukah mereka tergiur oleh tawaran uang tunai di tengah tekanan ekonomi yang menghimpit?

Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, mengakui maraknya tren penjualan data iris mata di kalangan warganya. Ia mengungkapkan bahwa sejumlah warga telah mengikuti pemindaian iris mata dan menerima imbalan uang tunai sebagai gantinya. Nominal imbalan ini, meski terkesan kecil, tampaknya cukup untuk menarik minat sebagian masyarakat yang membutuhkan.

Worldcoin, proyek yang digagas oleh pendiri ChatGPT, Sam Altman, telah menuai kontroversi di berbagai negara. Proyek ini dituding melakukan eksploitasi digital di negara-negara berkembang dengan regulasi privasi yang lemah. Taktik menyesatkan, seperti menjanjikan hadiah tanpa penjelasan yang memadai mengenai penggunaan data biometrik, juga dilaporkan terjadi di beberapa negara.

  • Janji palsu dan keamanan data yang dipertanyakan Worldcoin mengklaim akan menghapus data biometrik setelah pemindaian dan hanya menyimpannya dalam bentuk kode kriptografi. Namun, rekam jejak proyek ini menunjukkan bahwa janji tersebut tidak selalu ditepati. Pada tahun 2023, peretas berhasil mencuri kredensial operator Worldcoin dan mengakses informasi internal perusahaan, mengguncang klaim keamanan yang selama ini digaungkan.

Santiago Siri, pendiri Proof of Humanity, bahkan menyebut Worldcoin sebagai bentuk kolonialisme digital. Ia menuding proyek ini menyasar negara-negara berkembang dengan regulasi privasi yang lemah, sementara enggan melakukan hal serupa di negara-negara maju dengan regulasi yang lebih ketat.

Menyadari potensi risiko yang mengintai, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo) mengambil langkah tegas dengan membekukan sementara izin Worldcoin dan WorldID di Indonesia. Pembekuan ini merupakan langkah preventif untuk mencegah potensi risiko terhadap masyarakat. Kominfo juga akan memanggil dua perusahaan lokal yang terlibat dalam operasional Worldcoin di Indonesia, karena diduga belum sepenuhnya mematuhi regulasi penyelenggaraan sistem elektronik.

Kasus Meri di Bekasi menjadi cerminan betapa rentannya masyarakat ketika dihadapkan pada kebutuhan ekonomi dan minimnya literasi digital. Ratusan ribu rupiah menjadi daya tarik yang sulit ditolak, meskipun harus mengorbankan privasi dan keamanan data biometrik.

Lantas, siapakah yang akan bertanggung jawab jika data tersebut disalahgunakan? Pertanyaan ini menjadi alarm bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dan bijak dalam melindungi data pribadi di era digital ini.