Tata Kelola dan Sosialisasi JETP Mendesak Diperkuat Demi Suksesnya Transisi Energi Nasional
Upaya transisi energi di Indonesia melalui skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) memerlukan penguatan tata kelola dan peningkatan edukasi kepada masyarakat. Hal ini terungkap dalam studi dan diskusi yang diselenggarakan oleh Climate Investment Funds (CIF) dan Climate Action Network Southeast Asia (CANSEA) di Jakarta, yang menyoroti tantangan dalam implementasi JETP.
Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), Riki F. Ibrahim, menilai bahwa JETP saat ini belum memiliki daya saing yang optimal dibandingkan dengan mekanisme pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga multilateral global. Salah satu kendalanya adalah minimnya pengalaman JETP dalam mengelola pendanaan skala besar. Bentuk pinjaman komersial yang mendominasi skema pendanaan JETP juga menjadi perhatian, meskipun menawarkan suku bunga yang lebih rendah.
Menurut Riki, dana hibah dan bantuan teknis yang telah dialokasikan sejauh ini belum memberikan dampak signifikan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Tingkat pemahaman masyarakat Indonesia terhadap JETP masih sangat rendah, dengan lebih dari 90% populasi belum memahami pentingnya dan manfaat dari program ini. Hal ini mengindikasikan perlunya upaya sosialisasi yang lebih masif dan efektif.
Skema blended finance yang diterapkan JETP, yang mengkombinasikan dana filantropi, investasi publik, dan swasta, juga menuai kritik. Riki khawatir bahwa skema ini berpotensi membebani generasi mendatang dengan tanggungan finansial. Ia merekomendasikan agar alokasi dana hibah dan bantuan teknis yang ada dialihkan untuk program edukasi komprehensif mengenai prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) kepada seluruh pemangku kepentingan. Pemahaman yang baik mengenai safeguard ESG dinilai krusial untuk memastikan keberhasilan proyek-proyek energi terbarukan di seluruh Indonesia.
Lebih lanjut, Riki menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan untuk membubarkan JETP Indonesia dan mengalihkan pendanaannya ke lembaga multilateral yang lebih berpengalaman, seperti Bank Dunia. Ia berpendapat bahwa Indonesia telah memiliki lembaga-lembaga yang kompeten, seperti PT SMI dan PT PII, yang berada di bawah naungan Kementerian Keuangan dan siap untuk mendampingi proyek-proyek transisi energi.
Selain itu, Riki juga menyoroti biaya pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dinilainya terlalu mahal. Ia mempertanyakan efektivitas investasi besar dalam mematikan PLTU lebih awal, dengan mempertimbangkan dampak pengurangan emisi yang relatif kecil. Menurutnya, alokasi dana yang besar untuk pensiun dini PLTU dapat menjadi beban yang signifikan.
Studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi Sekretariat JETP dalam menyempurnakan desain kebijakan dan implementasi keterlibatan pemangku kepentingan di Indonesia, dengan tujuan akhir mewujudkan transisi energi yang adil dan inklusif bagi seluruh masyarakat.