Perubahan Iklim Picu Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Antisipasi dan Strategi Mitigasi

Ancaman Karhutla Meningkat Akibat Perubahan Iklim Global

Pemanasan global yang disebabkan oleh perubahan iklim terus menimbulkan dampak signifikan bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Salah satu konsekuensi yang paling mengkhawatirkan adalah peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kekeringan ekstrem yang dipicu oleh suhu global yang meningkat, mempercepat penyebaran api dan memperluas area yang rentan terhadap kebakaran. Penelitian terbaru dari Helmholtz Centre for Environmental Research, Jerman, dan peneliti Australia menunjukkan adanya pergeseran musim kebakaran di berbagai wilayah, termasuk Australia Timur dan Amerika Utara, akibat perubahan iklim. Hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Earth’s Future pada April 2025 ini, menekankan pentingnya kewaspadaan dan persiapan menghadapi potensi karhutla.

Para peneliti menggunakan Canadian Fire Weather Index (FWI) untuk mengukur risiko kebakaran, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti curah hujan, suhu, kelembaban relatif, dan kecepatan angin. Analisis data sejak 1979 menunjukkan adanya peningkatan tumpang tindih musim kebakaran di Australia Timur dan Amerika Utara bagian barat. Fenomena ini mengindikasikan bahwa periode dengan kondisi cuaca yang mendukung terjadinya kebakaran semakin panjang dan sering terjadi.

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Risiko Karhutla di Indonesia

Indonesia, sebagai negara dengan wilayah hutan yang luas dan ekosistem gambut yang rentan, juga menghadapi peningkatan risiko karhutla akibat pemanasan global. Lahan gambut yang terbuka, termasuk perkebunan kelapa sawit yang ditanam di atasnya, sangat rentan terhadap kebakaran, terutama saat musim kemarau. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, memperingatkan bahwa awal musim kemarau 2025 telah dimulai sejak April dan diperkirakan akan berlangsung lebih singkat dari biasanya di sebagian besar wilayah Indonesia. Puncak musim kemarau diprediksi terjadi pada Juni hingga Agustus 2025, dengan wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku berpotensi mengalami puncak kekeringan pada Agustus.

Upaya Mitigasi dan Pencegahan Karhutla

Menghadapi potensi peningkatan karhutla, peningkatan kesiapsiagaan menjadi sangat penting, terutama di wilayah yang diprediksi mengalami musim kemarau dengan kondisi normal hingga lebih kering dari biasanya. Upaya pembasahan lahan gambut, menaikkan tinggi muka air, dan pengisian embung-embung penampungan air di area yang rentan terbakar harus ditingkatkan selama periode curah hujan yang masih ada. Selain itu, kewaspadaan terhadap potensi penurunan kualitas udara di wilayah perkotaan dan daerah rawan karhutla, serta dampak suhu panas dan kelembapan tinggi terhadap kesehatan masyarakat, juga perlu ditingkatkan.

Daerah Rawan Karhutla di Indonesia

Terdapat tujuh provinsi di Indonesia yang sangat rawan terhadap karhutla, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Wilayah-wilayah ini umumnya memiliki lahan gambut yang luas, yang berfungsi sebagai penyimpan air alami dan penyerap emisi karbon. Kerusakan ekosistem gambut akibat kebakaran hutan, illegal logging, dan alih fungsi lahan, telah menghilangkan fungsi spon alami lahan gambut dan meningkatkan risiko kebakaran.

Pentingnya Restorasi Gambut dan Pengawasan Intensif

Karhutla di lahan gambut dapat dicegah dengan pemantauan intensif melalui satelit atau drone untuk mendeteksi titik api yang baru muncul dan segera dipadamkan. Sekat kanal dan pembasahan lahan gambut secara terus menerus pada musim kemarau juga akan membantu mengendalikan karhutla. Badan Restorasi Gambut (BRG), yang kemudian menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), telah berperan penting dalam mengendalikan karhutla dengan memfasilitasi restorasi gambut di tujuh provinsi hingga tahun 2020. Namun, dengan tidak dilanjutkannya tugas BRGM pada pemerintahan saat ini, muncul pertanyaan mengenai komitmen Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Tantangan dan Komitmen Pemerintah

Dengan laju pembangunan yang terus meningkat dan kebutuhan lahan yang semakin besar, kerusakan ekosistem hutan gambut diperkirakan akan terus bertambah. Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca, sementara lembaga yang bertugas merestorasi gambut tidak lagi diperpanjang. Perkembangan selanjutnya akan sangat menentukan apakah target tersebut dapat tercapai dalam waktu yang tersisa.