Sidang Zarof Ricar: Ahli Hukum Pidana Ungkap Unsur Pemufakatan Jahat dalam Kasus Suap

Dalam persidangan yang menjerat mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, terkait dugaan suap dan gratifikasi, seorang ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, memberikan penjelasan mendalam mengenai unsur pemufakatan jahat. Keterangan ini disampaikan Hibnu saat dihadirkan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung sebagai saksi ahli di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, pada Senin (5/5/2025).

Fokus utama pertanyaan jaksa kepada Hibnu adalah mengenai penerapan Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang secara khusus mengatur tentang percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat. Hibnu menjelaskan bahwa inti dari pemufakatan jahat adalah adanya kesamaan kehendak dan tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat untuk melakukan suatu tindakan melawan hukum. Ia menegaskan bahwa pemufakatan jahat termasuk dalam kategori delik formal, yang berarti tindak pidana dianggap telah terjadi dan selesai begitu kesepakatan untuk melakukan kejahatan itu tercapai, tanpa mengharuskan tindakan tersebut benar-benar terwujud.

Untuk memperjelas pemahaman, jaksa memberikan ilustrasi kasus kepada Hibnu. Skenario yang diajukan melibatkan seorang individu berinisial A yang bertemu dengan G, seorang pensiunan pegawai pengadilan. A menganggap G memiliki kemampuan untuk memengaruhi jalannya persidangan. Dalam pertemuan tersebut, A memberikan sejumlah uang kepada G, dengan tujuan agar G meneruskannya kepada H. Namun, dalam kenyataannya, H tidak pernah menerima uang tersebut. Jaksa kemudian menanyakan apakah situasi ini masih dapat dikategorikan sebagai bagian dari rangkaian pemufakatan jahat.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Hibnu menegaskan bahwa unsur pemufakatan jahat tetap terpenuhi selama terdapat kehendak bersama untuk melakukan suatu tindak pidana, terlepas dari apakah tujuan akhir dari kejahatan tersebut tercapai atau tidak. "Ini memang delik formal, kehendak bersama untuk melakukan kejahatan," ujarnya. Hibnu menambahkan bahwa meskipun dalam asas hukum pidana, pemikiran atau niat seseorang tidak dapat dipidanakan, terdapat pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti makar dan pemufakatan jahat. Ia menjelaskan bahwa secara politik hukum, kejahatan-kejahatan ini dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa, sejalan dengan pandangan terhadap makar dan korupsi.

Dalam konteks perkara yang menjerat Zarof Ricar, ia didakwa melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk menyuap Hakim Agung Soesilo, yang saat itu memimpin majelis kasasi dalam perkara Ronald Tannur. Kasasi ini diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai bentuk ketidakpuasan atas vonis bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terhadap Gregorius Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan terhadap Dini Sera Afrianti.

Jaksa menduga bahwa Zarof menerima uang sebesar Rp 5 miliar dari Lisa Rachmat, pengacara Ronald Tannur, dalam dua tahap pembayaran masing-masing Rp 2,5 miliar. Tujuan dari pemberian suap ini adalah untuk memengaruhi persidangan kasasi, sehingga majelis hakim memutuskan untuk menguatkan putusan PN Surabaya. Selain itu, Zarof juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas. Total aset berupa uang dan logam mulia yang mencapai Rp 1 triliun ini ditemukan oleh jaksa saat melakukan penggeledahan di rumah Zarof yang terletak di kawasan Senayan, Jakarta Pusat.

Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Definisi Pemufakatan Jahat: Kesamaan kehendak dan tujuan untuk melakukan tindak pidana.
  • Delik Formal: Tindak pidana dianggap selesai saat kesepakatan tercapai.
  • Pengecualian Asas Hukum Pidana: Pemikiran atau niat dapat dipidana dalam kasus makar dan pemufakatan jahat.
  • Dakwaan Zarof Ricar: Suap Hakim Agung Soesilo dan penerimaan gratifikasi.
  • Nilai Gratifikasi: Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas.