Kementerian Ketenagakerjaan Siapkan Kanal Pengaduan Terkait Penahanan Ijazah Karyawan yang Marak Terjadi

Maraknya kasus penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan memicu respons dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, mengumumkan rencana pembentukan kanal pengaduan khusus untuk menampung keluhan dan laporan terkait praktik penahanan ijazah yang dinilai merugikan pekerja. Pengumuman ini disampaikan dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI.

Inisiatif ini muncul sebagai jawaban atas meningkatnya laporan mengenai perusahaan yang menahan ijazah karyawan, sebuah praktik yang seringkali membuat pekerja kesulitan untuk mencari pekerjaan baru atau melanjutkan pendidikan. Menaker Yassierli menjelaskan bahwa kanal pengaduan ini bertujuan untuk mempercepat penanganan kasus penahanan ijazah. Selama ini, proses pelaporan dan penanganan kasus cenderung memakan waktu yang lama, sehingga pembentukan kanal khusus diharapkan dapat memangkas birokrasi dan memberikan solusi yang lebih cepat bagi para pekerja yang menjadi korban praktik tersebut.

Kemenaker menargetkan kanal pengaduan ini dapat segera diresmikan dan beroperasi. Langkah ini diharapkan dapat menjadi solusi efektif dalam mengatasi masalah penahanan ijazah yang kerap terjadi di berbagai daerah. Salah satu contoh kasus yang mencuat adalah yang terjadi di Riau, di mana 12 mantan karyawan mengadukan penahanan ijazah mereka oleh perusahaan. Bahkan, kasus ini sampai melibatkan Wakil Menteri Tenaga Kerja, Emmanuel Ebenezer, yang turun tangan untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut.

Kasus lain yang menjadi perhatian adalah laporan seorang mantan karyawan pabrik di Jawa Timur yang melaporkan perusahaan tempatnya bekerja ke polisi karena ijazahnya ditahan sejak dirinya mengundurkan diri pada tahun 2020 dan tidak kunjung dikembalikan. Praktik penahanan ijazah ini menjadi sorotan karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Menurut Audi Lumbantoruan, seorang pakar Career Development, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya dalam UU Cipta Kerja tidak mengatur secara eksplisit mengenai penahanan ijazah oleh perusahaan. Hal ini membuat sejumlah perusahaan berdalih bahwa praktik tersebut tidak melanggar hukum. Namun, Audi menjelaskan bahwa penahanan ijazah dapat dibenarkan secara hukum jika ada perjanjian atau kesepakatan tertulis antara perusahaan dan karyawan yang mengatur hal tersebut. Kesepakatan ini biasanya dicantumkan dalam perjanjian kerja yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Dalam praktiknya, penahanan ijazah seringkali hanya didasarkan pada kesepakatan lisan, yang tentu saja rentan terhadap penyalahgunaan. Audi menekankan pentingnya komunikasi yang jelas dan pencantuman klausul penahanan ijazah dalam perjanjian kerja, baik PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) maupun PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Ia juga mengkritik praktik penahanan ijazah sebagai pendekatan yang kuno dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Menurutnya, model perjanjian bonding dengan penalti bagi karyawan yang memutuskan keluar lebih efektif dan adil.

Lebih lanjut, Audi menilai bahwa penahanan ijazah dapat merugikan pekerja karena menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar antara perusahaan dan karyawan. Karyawan yang setuju ijazahnya ditahan oleh perusahaan akan berada dalam posisi yang lebih lemah dan rentan dieksploitasi. Oleh karena itu, ia menyarankan agar perusahaan mencari solusi lain yang lebih bijak untuk menjamin kontrak kerja atau mendorong karyawan untuk bertahan lama di perusahaan, alih-alih menahan ijazah mereka.

Dengan adanya kanal pengaduan yang akan dibentuk oleh Kemenaker, diharapkan para pekerja yang menjadi korban praktik penahanan ijazah dapat memiliki wadah untuk menyampaikan keluhan mereka dan mendapatkan solusi yang adil. Langkah ini juga diharapkan dapat memberikan efek jera bagi perusahaan-perusahaan yang masih melakukan praktik penahanan ijazah secara sewenang-wenang.