Gelombang PHK Diprediksi Meningkat, Menaker Ungkap Faktor Pemicu Utama

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) memproyeksikan adanya potensi peningkatan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada tahun 2025. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, memaparkan sejumlah faktor dominan yang menjadi penyebab utama tren tersebut.

Menurut Yassierli, setidaknya ada tujuh faktor utama yang berkontribusi signifikan terhadap potensi lonjakan PHK. Faktor-faktor tersebut meliputi:

  • Kerugian atau Penutupan Perusahaan: Penurunan permintaan pasar, baik di dalam maupun luar negeri, memaksa perusahaan untuk merasionalisasi operasional mereka, bahkan berujung pada penutupan usaha.
  • Relokasi Usaha: Perusahaan berpotensi melakukan relokasi ke wilayah dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah sebagai strategi untuk meningkatkan daya saing.
  • Perselisihan Hubungan Industrial: Konflik antara pekerja dan manajemen dapat berujung pada PHK, terutama jika tidak ada solusi yang konstruktif.
  • Tindakan Balasan atas Mogok Kerja: Aksi mogok kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dapat memicu tindakan disipliner dari perusahaan, termasuk PHK.
  • Efisiensi Perusahaan: Dalam upaya mempertahankan kelangsungan bisnis, perusahaan melakukan efisiensi operasional, termasuk pengurangan tenaga kerja.
  • Transformasi Bisnis: Perubahan model bisnis atau adopsi teknologi baru dapat menyebabkan perusahaan melakukan restrukturisasi organisasi, termasuk PHK.
  • Kondisi Pailit: Perusahaan yang dinyatakan pailit karena gagal memenuhi kewajiban kepada kreditur terpaksa melakukan PHK sebagai bagian dari proses likuidasi.

Yassierli menekankan bahwa terdapat total 25 faktor yang dapat menyebabkan PHK, namun tujuh faktor di atas merupakan yang paling dominan saat ini. Ia menambahkan bahwa setiap kasus PHK perlu ditangani secara spesifik dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing perusahaan.

Menyikapi fenomena ini, Kemenaker mengakui bahwa angka PHK saat ini memang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, di sisi lain, terdapat juga investasi baru yang masuk ke Indonesia, yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru.

Data Kemenaker mencatat bahwa dari 1 Januari hingga 23 April 2025, terdapat 24.036 pekerja yang terkena PHK. Sektor manufaktur atau industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar dengan 16.801 kasus, diikuti oleh perdagangan besar dan eceran (3.622 kasus) dan aktivitas jasa lainnya (2.012 kasus).

Provinsi dengan angka PHK tertinggi adalah Jawa Tengah (10.692 orang), Jakarta (4.649 orang), dan Riau (3.456 orang).

Sebagai perbandingan, angka PHK pada tahun 2024 mencapai 77.965 orang, tahun 2023 tercatat 64.855 orang, dan tahun 2022 sebanyak 25.614 orang. Pada masa pandemi COVID-19, jumlah PHK melonjak signifikan, mencapai lebih dari 127.000 orang pada tahun 2021 dan lebih dari 386.000 orang pada tahun 2020.