Dominasi Gugatan Cerai dari Pihak Istri di Surabaya: Fenomena dan Faktor Pendorong

Tren perceraian di Kota Surabaya menunjukkan kecenderungan menarik, di mana gugatan cerai didominasi oleh pihak istri. Data dari Pengadilan Agama (PA) Surabaya mengungkap bahwa sepanjang tahun 2024, tercatat 4.087 kasus gugat cerai (diajukan istri), jauh melebihi jumlah cerai talak (diajukan suami) yang hanya 1.557 kasus. Pola serupa berlanjut pada tiga bulan pertama tahun 2025 (Januari-Maret), dengan 1.056 kasus gugat cerai berbanding 415 kasus cerai talak.

Menurut Humas PA Surabaya, Akramuddin, fenomena ini bukan hanya terjadi di Surabaya, melainkan menjadi tren nasional. Berbagai faktor melatarbelakangi dominasi gugatan cerai dari pihak istri, di antaranya masalah ekonomi, ketidaksepakatan nafkah, dampak negatif pinjaman online, dan berbagai pemicu pertengkaran lainnya. Kondisi ini mencerminkan perubahan dinamika dalam rumah tangga dan pergeseran peran perempuan dalam masyarakat.

Psikolog asal Surabaya, Herliyana Isnaeni, menjelaskan bahwa pergeseran pandangan sosial turut memengaruhi tren ini. Dulu, perceraian, terutama jika diajukan oleh wanita, dianggap sebagai aib. Namun, kini perceraian semakin dipandang sebagai solusi alternatif ketika pernikahan tidak lagi sehat. Pemberdayaan ekonomi perempuan di era digital juga berperan signifikan. Dengan memiliki pendapatan sendiri, perempuan menjadi lebih mandiri dan berani mengambil keputusan untuk bercerai jika pernikahannya menyakitkan.

Selain itu, meningkatnya kesadaran hukum terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga mendorong perempuan untuk menggugat cerai. Undang-Undang KDRT memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dan meningkatkan kesadaran akan hak-hak mereka. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi juga berkontribusi pada pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dan kemampuan untuk melindungi diri.

Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental juga semakin memengaruhi keputusan perempuan untuk bercerai. Mereka mempertimbangkan dampak pernikahan yang tidak sehat terhadap kesehatan mental anak-anak mereka. Jika pernikahan hanya memberikan trauma, mereka berani memutuskan untuk menggugat cerai demi kebaikan psikologis anak-anak mereka.

Herliyana Isnaeni menyarankan agar pasangan suami istri yang mengalami masalah dalam hubungan mereka untuk mencari bantuan profesional dari psikolog. Konseling juga dianjurkan bagi mereka yang berencana menikah, untuk memberikan wawasan dan persiapan yang matang sebelum memasuki jenjang pernikahan.

Berikut faktor-faktor penyebab perempuan menggugat cerai:

  • Masalah Ekonomi: Ketidakstabilan finansial dan masalah pengelolaan keuangan sering menjadi pemicu utama.
  • Ketidaksepakatan Nafkah: Perselisihan terkait jumlah dan pemenuhan nafkah dapat menyebabkan ketegangan berkepanjangan.
  • Dampak Pinjaman Online: Beban hutang akibat pinjaman online seringkali memperburuk kondisi ekonomi keluarga.
  • Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Kekerasan fisik, verbal, atau emosional menjadi alasan kuat bagi perempuan untuk mencari perlindungan hukum.
  • Pergeseran Pandangan Sosial: Perceraian tidak lagi dianggap sebagai aib, membuka ruang bagi perempuan untuk mencari kebahagiaan.
  • Pemberdayaan Ekonomi Perempuan: Kemandirian finansial memberikan perempuan keberanian untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka.
  • Kesadaran Hukum: Pengetahuan tentang hak-hak hukum memberikan perempuan kekuatan untuk melindungi diri.
  • Kesehatan Mental: Pertimbangan kesehatan mental diri sendiri dan anak-anak menjadi faktor penting dalam keputusan perceraian.