Penghapusan Outsourcing: Antara Aspirasi Buruh dan Iklim Investasi di Era AI
Dilema Penghapusan Outsourcing di Tengah Gelombang Otomatisasi
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai penghapusan sistem outsourcing, yang disampaikan pada peringatan Hari Buruh Internasional, telah memicu perdebatan sengit antara kalangan pekerja dan pengusaha. Komitmen ini disambut gembira oleh para buruh yang telah lama merasakan dampak negatif dari sistem kerja alih daya, namun di sisi lain, menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor yang selama ini mengandalkan fleksibilitas outsourcing untuk menjaga efisiensi operasional.
Praktik outsourcing sendiri telah menjadi bagian dari lanskap bisnis di Indonesia sejak tahun 1990-an, sebagai respons terhadap dinamika pasar yang tidak menentu dan kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi biaya. Namun, legalitas dan regulasi formal baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang ini memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing-kan dan hak-hak pekerja outsourcing, meskipun dalam praktiknya, implementasi seringkali menimbulkan masalah.
Bagi dunia usaha, outsourcing dipandang sebagai strategi penting untuk menjaga daya saing, terutama di sektor-sektor padat karya yang rentan terhadap fluktuasi permintaan. Namun, janji Prabowo untuk menghapus sistem ini menempatkan pemerintah di persimpangan jalan: bagaimana menyeimbangkan aspirasi pekerja dengan kebutuhan untuk menjaga iklim investasi yang kondusif.
Menuju Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja dan Kepastian Hukum
Ekonom Chatib Basri menekankan bahwa daya saing suatu negara tidak hanya ditentukan oleh upah murah, tetapi juga oleh kualitas tenaga kerja dan kepastian hukum. Di era globalisasi, digitalisasi, dan kemajuan AI, banyak pekerjaan tradisional terancam digantikan oleh otomatisasi. Oleh karena itu, Indonesia perlu berinvestasi dalam peningkatan keterampilan dan keahlian tenaga kerja agar tidak tertinggal dalam persaingan global.
Penghapusan outsourcing seharusnya tidak dilihat sebagai larangan semata, melainkan sebagai kesempatan untuk melakukan reformasi ketenagakerjaan yang komprehensif. Pemerintah perlu menyusun strategi transisi yang jelas, memetakan sektor-sektor yang siap beralih ke model kerja yang lebih stabil, dan memberikan dukungan bagi sektor-sektor yang membutuhkan waktu adaptasi lebih lama.
Selain itu, pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat diperlukan untuk mencegah praktik-praktik eksploitatif yang sering terjadi dalam sistem outsourcing. Pemerintah harus memastikan bahwa penghapusan outsourcing tidak digantikan oleh pola-pola kontrak kerja lain yang merugikan pekerja, seperti Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang diperpanjang tanpa batas.
Investasi dalam Keterampilan dan Insentif bagi Perusahaan
Penguatan kapasitas tenaga kerja melalui program upskilling dan reskilling menjadi kunci untuk menghadapi disrupsi akibat digitalisasi dan otomatisasi. Pemerintah perlu bekerja sama dengan dunia usaha dan lembaga pendidikan untuk menyediakan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri masa depan. Pekerja kontrak fleksibel yang seringkali menghadapi ketidakpastian kerja membutuhkan dukungan untuk meningkatkan keterampilan mereka agar tetap kompetitif di pasar kerja.
Negara-negara Skandinavia dapat menjadi contoh bagaimana menggabungkan jaminan sosial yang kuat dengan pelatihan berkelanjutan untuk membantu pekerja beradaptasi dengan perubahan. Penghapusan sistem kontrak fleksibel bukan hanya tentang memberikan status tetap kepada pekerja, tetapi juga tentang memastikan bahwa mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk berhasil di pasar kerja yang terus berubah.
Pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi perusahaan yang berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hubungan industrial, seperti keringanan pajak, kemudahan kredit, atau prioritas dalam proyek pemerintah. Dengan cara ini, penghapusan kontrak fleksibel dapat dilihat sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas dunia usaha nasional.
Mempersiapkan Indonesia untuk Era Ekonomi Berbasis Pengetahuan
Pemerintah perlu mempertimbangkan posisi Indonesia dalam rantai pasok global. Ketergantungan pada upah murah menjadi risiko jika negara pesaing mulai menawarkan produktivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang sama. Investasi kini lebih membutuhkan kepastian hukum dan tenaga kerja yang terampil daripada sekadar upah murah.
Pernyataan Prabowo harus dimaknai sebagai titik awal pembenahan menyeluruh sistem ketenagakerjaan. Janji penghapusan sistem kontrak fleksibel harus diwujudkan melalui kebijakan yang terukur, inklusif, dan adaptif terhadap tantangan global. Dengan peta jalan yang jelas, penguatan keterampilan, insentif bagi dunia usaha, dan penegakan hukum yang tegas, penghapusan outsourcing dapat menjadi momentum untuk memperbaiki ekosistem ketenagakerjaan.
Lebih dari sekadar memenuhi aspirasi buruh, kebijakan ini dapat menjadi langkah strategis untuk mempersiapkan Indonesia menghadapi era ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi. Di era disrupsi, keadilan kerja bukan penghambat investasi, melainkan modal sosial esensial untuk membangun ekonomi nasional yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.