Pemerintah Segera Rancang Undang-Undang Regulasi Pemulangan Narapidana Asing
Pemerintah Segera Rancang Undang-Undang Regulasi Pemulangan Narapidana Asing
Pemerintah Indonesia tengah menggodok rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur secara komprehensif proses pemulangan narapidana asing ke negara asal. Langkah ini diutarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, sebagai respon atas belum adanya payung hukum yang spesifik mengatur transfer of prisoners (ToP). Ketiadaan regulasi ini selama ini menyisakan celah hukum dan mengandalkan kesepakatan bilateral yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan disparitas penerapan. Menurut Yusril, RUU ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas dalam setiap proses pemulangan narapidana.
Yusril menjelaskan bahwa hingga saat ini, pemulangan narapidana masih didasarkan pada hubungan bilateral antarnegara dan asas kemanusiaan. Namun, hal ini dianggap kurang efektif dan rentan terhadap interpretasi yang berbeda. RUU yang akan disusun ini diharapkan dapat memberikan kerangka hukum yang kuat, merinci syarat dan ketentuan pemulangan narapidana, serta memastikan konsistensi penerapan hukum dalam setiap kasus. Beberapa poin penting yang akan diatur dalam RUU tersebut antara lain:
- Persyaratan Pemulangan: Negara asal narapidana wajib mengakui putusan pengadilan Indonesia dan bersedia menerima sisa masa hukuman yang belum dijalani, kecuali hukuman mati.
- Kerja Sama Internasional: RUU akan mengatur mekanisme kerja sama yang lebih terstruktur dengan negara-negara asal narapidana untuk memastikan proses pemulangan berjalan lancar dan sesuai dengan hukum.
- Pemantauan dan Pengawasan: RUU akan mengatur mekanisme pemantauan dan pengawasan terhadap narapidana setelah dipulangkan, guna mencegah potensi pelanggaran hukum di negara asal.
- Aspek Hak Asasi Manusia: RUU ini akan dirancang dengan tetap mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dan memastikan proses pemulangan dilakukan secara manusiawi dan adil.
Yusril mencontohkan kasus Mary Jane Veloso, warga negara Filipina yang dihukum di Indonesia atas kasus narkotika. Dalam kasus tersebut, kerja sama yang baik antara Indonesia dan Filipina, termasuk akses bagi Kedutaan Besar Indonesia di Filipina untuk memantau perkembangan kasus, memberikan contoh positif bagi proses ToP. Namun, Yusril menekankan perlunya sebuah kerangka hukum yang lebih sistematis untuk menghindari potensi celah hukum yang dapat meringankan hukuman bagi narapidana setelah dipulangkan. Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk merancang RUU ini secara matang dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga internasional, untuk memastikan terwujudnya regulasi yang efektif, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
Lebih lanjut, Yusril menegaskan bahwa proses pemulangan narapidana merupakan bagian penting dari diplomasi internasional Indonesia. Pemerintah akan terus berupaya memperkuat kerja sama internasional untuk memastikan pemulangan narapidana dilakukan dengan cara yang sesuai dengan hukum dan norma internasional, serta tetap mengedepankan kepentingan terbaik bagi Indonesia dan negara asal narapidana. Pemulangan narapidana seperti Mary Jane Veloso ke Filipina, terpidana kasus Bali Nine ke Australia, dan Serge Atlaoui ke Perancis dalam beberapa bulan terakhir menjadi bukti komitmen Indonesia dalam hal ini. Namun, pemerintah menyadari perlunya landasan hukum yang kuat untuk menjamin proses tersebut berjalan dengan transparan dan akuntabel.
Proses penyusunan RUU ini diharapkan dapat segera rampung dan menghasilkan regulasi yang mampu menjawab tantangan hukum dan diplomasi dalam menangani kasus pemulangan narapidana asing.