Serikat Pekerja Desak Pemerintah Lindungi Industri Padat Karya dari Gelombang PHK Akibat Regulasi yang Memberatkan
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menyampaikan permohonan mendesak kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan khusus kepada para pekerja di sektor industri padat karya. Upaya ini dipandang krusial dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional, terutama di tengah gejolak ekonomi global dan potensi perang dagang.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menegaskan bahwa pekerja dan pengusaha memiliki kedudukan yang setara dalam hal perlindungan dan pembelaan, sejalan dengan prinsip-prinsip Hubungan Industrial Pancasila. Keduanya memiliki peran komplementer dalam memajukan perekonomian negara, ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam pembangunan nasional. Aspirasi ini telah disampaikan dalam forum Silaturahmi Ekonomi Nasional yang dihadiri oleh Kepala Negara.
Sudarto menekankan peran vital industri padat karya, khususnya Industri Hasil Tembakau (IHT), dalam pembangunan Indonesia. IHT menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja, menampung ratusan ribu pekerja di seluruh rantai produksinya. Selain itu, IHT memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara, menyumbang rata-rata 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui cukai hasil tembakau.
Lebih lanjut, industri ini menciptakan efek berganda yang positif bagi perekonomian daerah, tercermin dari keterkaitan erat antara industri tembakau dengan penyerapan hasil pertanian dalam negeri dan sektor ritel, yang sebagian besar dijalankan oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Oleh karena itu, industri tembakau layak diperlakukan sebagai salah satu industri prioritas nasional.
Sudarto mendesak pemerintah untuk menjamin perlindungan dan keadilan berusaha bagi IHT, baik bagi pekerja maupun pengusaha. "Supremasi hukum ketenagakerjaan sangat diperlukan untuk melindungi pekerja dan menciptakan persaingan sehat di antara pelaku industri," ujarnya.
Sorotan juga diberikan pada pentingnya regulasi yang mendukung perekonomian, terutama dalam kondisi ketidakpastian saat ini. Sudarto mengkritik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang dinilai berpotensi mematikan IHT dan mengancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi para pekerja di industri terkait. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan lonjakan signifikan jumlah pekerja yang terkena PHK, mencapai 18.610 orang per Februari 2025, meningkat hampir enam kali lipat dibandingkan Januari 2025.
Pasal-pasal dalam PP 28/2024 yang dianggap bermasalah meliputi larangan zonasi 200 meter untuk penjualan produk tembakau, pengaturan Gula, Garam, Lemak (GGL), serta wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Regulasi-regulasi ini dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja dan berkontribusi besar pada penerimaan negara.
Sudarto menyerukan kepada pemerintah untuk membuka ruang dialog yang setara kepada perwakilan pekerja, seperti FSP RTMM-SPSI, dalam proses pengambilan kebijakan. Hal ini penting untuk menciptakan keadilan dan menghindari intervensi asing dalam pembuatan kebijakan, seperti yang diduga terjadi dengan PP 28/2024 yang dianggap sebagai produk dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Kami, serikat pekerja, siap mendukung kebijakan pemerintah untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan pekerja, sejalan dengan kepentingan ekonomi nasional, khususnya dalam perlindungan terhadap industri padat karya. Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sehingga pemerintah tidak seharusnya didikte oleh negara lain yang tidak memiliki industri serupa," tegas Sudarto.
Selain itu, Sudarto meminta pemerintah untuk menjaga dan meningkatkan daya beli pekerja, salah satunya melalui perluasan cakupan pekerja padat karya dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 10/2025 terkait pembebasan PPh 21 bagi anggota serikat pekerja di sektor IHT serta makanan dan minuman. Sektor-sektor ini, yang merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, belum mendapatkan insentif tersebut. Rekomendasi ini sejalan dengan upaya deregulasi yang tengah diupayakan Presiden untuk menjaga optimisme pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan global.