DPR Dorong Penguatan Kantin Sekolah untuk Program Gizi Gratis Pasca-Kasus Keracunan
Gelombang kasus keracunan makanan yang menimpa siswa penerima program makan bergizi gratis (MBG) memicu perhatian serius di kalangan legislator. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris, mengusulkan agar program tersebut diintegrasikan dengan penguatan kantin sekolah. Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap berbagai insiden keracunan yang menimpa siswa di berbagai daerah.
Honoris menjelaskan bahwa model pemberdayaan kantin sekolah, seperti yang diterapkan di Jepang, dapat menjadi solusi efektif. Dalam sistem ini, sekolah bertanggung jawab penuh atas penyediaan makanan, mulai dari pemilihan bahan baku hingga proses pengolahan, dengan standar ketat dan pengawasan rutin. Keterlibatan aktif Puskesmas dan Dinas Kesehatan setempat juga dinilai krusial untuk memantau operasional kantin, termasuk uji laboratorium dan audit sanitasi berkala.
"Jika makanan disiapkan langsung di kantin sekolah, pengawasan akan melibatkan orang tua murid. Keterlibatan orang tua bisa ditingkatkan, dan setiap kekurangan dalam penyediaan makanan, baik dari segi gizi maupun kebersihan, akan lebih cepat terdeteksi," ujarnya.
Menanggapi kasus keracunan yang terjadi, Honoris mendesak Badan Gizi Nasional (BGN) untuk bertanggung jawab secara moral dan administratif. Ia menuntut transparansi dalam investigasi, pemulihan kesehatan siswa, serta jaminan agar insiden serupa tidak terulang. Sanksi tegas juga harus diberikan kepada pihak-pihak yang terbukti lalai atau melakukan kesalahan dalam pengadaan dan distribusi makanan.
"Kami juga mendorong agar pola-pola lama seperti kemitraan dengan yayasan atau pihak ketiga dalam penyediaan makanan sekolah segera ditinjau ulang atau bahkan dihapuskan, karena terbukti menimbulkan banyak persoalan di lapangan," tegasnya.
Anggota Komisi IX DPR RI lainnya, Zainul Munasichin, menekankan pentingnya peningkatan quality control oleh BGN, terutama saat makanan disajikan kepada siswa. Ia mengusulkan uji sampel makanan sebagai bagian dari protokol quality control.
Namun, Zainul berpendapat bahwa kasus keracunan MBG tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab BGN. Ia mengarahkan tanggung jawab kepada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan pengelola dapur yang menjadi mitra BGN.
Kasus keracunan MBG sebelumnya terjadi di Kota Bandung, di mana 342 siswa SMP Negeri 35 mengalami gejala keracunan setelah menyantap MBG. Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya juga menangani 25 pelajar SD dan SMP yang diduga keracunan setelah mengonsumsi makanan dari sekolah.
BGN telah merespons kasus-kasus ini dengan menjanjikan pengetatan prosedur distribusi makanan. Langkah-langkah yang akan diambil meliputi:
- Pengetatan protokol keamanan saat pengantaran makanan dari dapur ke sekolah.
- Pembatasan waktu maksimum pengantaran untuk menjaga kualitas makanan.
- Memperketat mekanisme distribusi di sekolah, termasuk penyimpanan dan penyerahan kepada siswa.
- Penetapan batas toleransi waktu antara makanan diterima dan harus segera dikonsumsi.
- Penetapan kewajiban uji organoleptik (tampilan, aroma, rasa, dan tekstur) terhadap makanan sebelum dibagikan.