Sengketa Sertifikat Tanah Mbah Tupon Mencuat, PNM Klaim Hanya Terima Pengalihan Kredit
Kasus sengketa sertifikat tanah milik Mbah Tupon, seorang warga Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, kini menjadi sorotan publik. Sertifikat tanah tersebut diketahui telah diagunkan di Permodalan Nasional Madani (PNM) dengan nilai mencapai Rp 1,5 miliar.
Keluarga Mbah Tupon menyatakan ketidak tahuannya mengenai proses pengajuan pinjaman yang menggunakan sertifikat tanah mereka sebagai jaminan. Mereka mengklaim tidak pernah menerima pemberitahuan atau survei dari pihak PNM terkait hal tersebut. Keluarga Mbah Tupon baru mengetahui perihal pelelangan tanah mereka ketika pihak PNM mendatangi rumah untuk menginformasikan bahwa tanah tersebut akan segera dilelang. Selain itu, keluarga juga terkejut mendapati bahwa sertifikat tanah yang awalnya direncanakan untuk dipecah menjadi empat bagian atas nama Mbah Tupon dan ketiga anaknya, kini telah beralih nama kepada seseorang berinisial IF.
Menanggapi permasalahan ini, Sekretaris Perusahaan PT PNM, Dodot Patria, memberikan penjelasan bahwa pihaknya hanya menerima pengalihan kredit (take over) sertifikat tersebut. "Sebetulnya ini kami terima dari take over, jadi kami ini pihak yang dirugikan sebenarnya. Sertifikat sudah atas nama seperti yang sudah disebutkan (atas nama IF). Jadi kami menerima bukan atas nama Mbah Tupon, tetapi yang tadi," ujar Dodot pada Sabtu (3/5/2025).
Dodot juga menegaskan bahwa PNM siap untuk mengikuti proses hukum yang berlaku terkait dengan kasus ini. "Sesuai dengan apa yang disampaikan pengacara dari pihak Mbah Tupon, kita ikuti proses hukumnya. Kita patuhi itu dulu," katanya. Ia juga menyampaikan permohonan maaf kepada Mbah Tupon atas kegaduhan yang terjadi akibat permasalahan ini. "Kami tegaskan pihak PNM berada di pihak bapak dan seluruhnya kami akan serahkan kepada aparat hukum," imbuhnya.
Sebelumnya, Heri Setiawan, putra pertama Mbah Tupon, mengungkapkan bahwa seorang pembeli sebagian tanah Mbah Tupon berinisial BR sempat menanyakan tentang sertifikat tersebut dan berinisiatif untuk memecah sertifikat sisa tanah seluas 1.655 meter persegi menjadi empat sertifikat atas nama Mbah Tupon dan ketiga anaknya.
Namun, kenyataannya, sertifikat tanah milik Mbah Tupon justru telah beralih tangan kepada seseorang berinisial IF dan kemudian diagunkan ke bank. Heri juga menambahkan bahwa pihak bank tidak pernah melakukan survei ketika sertifikat tersebut diagunkan. Ia menjelaskan bahwa selama proses jual beli, Mbah Tupon diminta untuk menandatangani dokumen sebanyak dua kali oleh seorang perantara (calo) yang menghubungkan Mbah Tupon dengan BR. "Disuruh tanda tangan pertama di daerah Janti, terus yang kedua di Krapyak. Bapak kurang tahu tanda tangan dokumen apa, soalnya bapak enggak bisa baca dan tidak dibacakan," ungkap Heri.
Kasus ini masih terus bergulir dan menjadi perhatian publik, terutama terkait dengan dugaan adanya praktik pengalihan hak yang tidak transparan dan merugikan pihak Mbah Tupon sekeluarga. Proses hukum diharapkan dapat mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.