Menaker Soroti Kurikulum Pendidikan Industri Terkait Polemik BHR Ojol
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, baru-baru ini mengungkapkan kekecewaannya terhadap sistem pendidikan industri di Indonesia, khususnya terkait dengan pendekatan yang diajarkan dalam memaksimalkan keuntungan perusahaan. Kekecewaan ini muncul setelah pengalaman panjang dalam mengurusi persoalan Bantuan Hari Raya (BHR) bagi pengemudi ojek online (ojol) dan kurir. Yassierli merasa ada yang salah dalam pembentukan pola pikir lulusan perguruan tinggi yang kini menduduki posisi penting di perusahaan aplikasi.
Dalam berbagai kesempatan rapat negosiasi terkait BHR ojol, Yassierli menghadapi alotnya perdebatan dengan para aplikator. Mereka berpegang teguh pada sistem yang telah berjalan dan menekankan bahwa perusahaan tidak mengambil keuntungan besar. Pengalaman ini membuatnya merenungkan kembali kurikulum pendidikan yang telah ia ampu selama 25 tahun sebagai dosen di Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB). Yassierli menyadari bahwa fokus utama pendidikan manajemen dan industri tampaknya terlalu berat pada maksimalisasi profit, sehingga mengesampingkan aspek kesejahteraan pekerja.
Ia menceritakan pengalamannya saat berhadapan dengan mantan mahasiswanya yang kini menjadi perwakilan salah satu aplikator. Mahasiswa tersebut berprinsip bahwa kesuksesan dalam manajemen adalah memaksimalkan keuntungan perusahaan tanpa mempedulikan aspek lain. Hal ini membuat Yassierli bertanya-tanya tentang hasil didikan yang selama ini ia berikan. Ia merasa ada ketidakseimbangan antara visi perusahaan yang hanya berorientasi pada profit dan tuntutan pekerja atau serikat buruh yang memperjuangkan upah yang layak. Yassierli menekankan bahwa jika perusahaan hanya melihat buruh sebagai objek, maka tidak akan pernah ada titik temu.
Menaker berpendapat bahwa seharusnya perusahaan memiliki visi untuk maju bersama dengan seluruh karyawan. Dengan demikian, buruh akan dihargai sebagai subjek yang berkontribusi pada kesuksesan perusahaan. Kolaborasi antara manajemen dan pekerja akan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, di mana karyawan merasa menjadi bagian penting dari perusahaan dan termotivasi untuk memberikan yang terbaik. Yassierli menyadari bahwa mengubah pola pikir ini tidaklah mudah, karena mazhab manajemen yang banyak dianut di Indonesia cenderung berorientasi pada model Barat yang fokus pada profitabilitas.
Lebih lanjut, Yassierli mencontohkan argumentasi aplikator saat evaluasi pembayaran BHR Idul Fitri 2025 yang membuatnya merasa kesal. Salah satu argumentasi yang dilontarkan adalah bahwa perusahaan telah membantu para pengemudi dan kurir online dengan memberikan pekerjaan daripada mereka menganggur. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kerja di Indonesia belum sepenuhnya siap untuk menghargai hak-hak pekerja atas pekerjaan yang layak.
Yassierli juga menyoroti sikap para perwakilan aplikator yang bersikeras mempertahankan argumen bahwa perusahaan hanya mengambil keuntungan sekitar 20 persen. Ia berusaha meyakinkan mereka bahwa persoalan BHR bukan hanya tentang angka, tetapi tentang kepedulian dan gotong royong, yang merupakan DNA bangsa Indonesia. Ia mencontohkan bagaimana dirinya memberikan sesuatu kepada asisten rumah tangga tanpa adanya regulasi yang mewajibkan, melainkan atas dasar kepedulian.
Berdasarkan pengalamannya ini, Yassierli bertekad untuk mendorong perbaikan kurikulum pendidikan manajemen dan industri agar lebih menekankan pada pentingnya kesejahteraan pekerja dan kolaborasi antara manajemen dan karyawan. Ia berharap, dengan perubahan ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat memiliki visi yang lebih holistik dan berkelanjutan, sehingga menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan sejahtera bagi seluruh pihak.