Bayang-Bayang Kekerasan: Peringatan Hari Perempuan Internasional di Tengah Angka Kekerasan Berbasis Gender yang Mengkhawatirkan

Bayang-Bayang Kekerasan: Peringatan Hari Perempuan Internasional di Tengah Angka Kekerasan Berbasis Gender yang Mengkhawatirkan

Peringatan Hari Perempuan Internasional (IWD) tahun 2025 yang mengusung tema "Untuk semua perempuan dan anak perempuan: Hak. Kesetaraan. Pemberdayaan," menunjukkan kontras yang tajam dengan realita yang dihadapi perempuan di Indonesia. Meskipun perayaan ini menyoroti pentingnya kesetaraan dan pemberdayaan perempuan di semua aspek kehidupan, termasuk kesehatan, bayang-bayang kekerasan berbasis gender masih membayangi, menunjukkan ketimpangan gender yang mengakar dan memprihatinkan.

Data yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada awal Maret 2025 mengungkap peningkatan signifikan kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka tersebut melonjak dari 289.111 kasus di tahun sebelumnya menjadi 330.097 kasus di tahun 2024, meningkat sebesar 14,17 persen. Kenaikan ini menjadi indikator kuat betapa jauh perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender masih harus ditempuh. Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, menyatakan keprihatinan mendalam atas data tersebut dalam sebuah siaran di Youtube Komnas Perempuan.

Lebih rinci, data Komnas Perempuan mengungkap jenis kekerasan yang paling sering dialami perempuan di Indonesia. Kekerasan terhadap Istri (KTI) menempati posisi tertinggi dengan 674 kasus, diikuti oleh Kekerasan Mantan Pacar (KMP) sebanyak 618 kasus, dan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebanyak 360 kasus. Data ini menyoroti betapa rentannya perempuan terhadap kekerasan dalam berbagai konteks hubungan, mulai dari hubungan intim hingga hubungan sosial.

Tidak hanya itu, fenomena femisida—pembunuhan perempuan yang dilatarbelakangi kebencian, dendam, atau pandangan perempuan sebagai milik—juga masih menjadi masalah serius di Indonesia. Pemantauan Komnas Perempuan terhadap pemberitaan media daring pada tahun 2019 mencatat angka yang mengkhawatirkan, yaitu 145 kasus femisida. Data PBB bahkan menunjukkan fakta yang lebih mengejutkan, yaitu 80 persen pembunuhan terencana terhadap perempuan dilakukan oleh orang terdekat korban. Fakta ini menunjukkan betapa bahayanya lingkaran terdekat dapat menjadi sumber ancaman bagi perempuan.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengungkapkan keprihatinan global terhadap kekerasan terhadap perempuan. Meskipun peran perempuan semakin signifikan setiap tahunnya, kekerasan, diskriminasi, dan kesenjangan masih menjadi penghalang utama bagi pemberdayaan perempuan. Guterres menekankan bahwa setiap sepuluh menit, seorang wanita dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarganya. Lebih lanjut, ia juga menyoroti nasib 612 juta perempuan dan anak perempuan yang hidup di bawah bayang-bayang konflik bersenjata, di mana hak-hak mereka sering kali diabaikan.

Menanggapi situasi ini, PBB meluncurkan Global Digital Compact untuk menutup kesenjangan digital gender, melawan pelecehan online, dan memastikan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia dapat mengakses manfaat ekonomi global. Langkah ini menjadi bagian dari upaya global untuk melindungi perempuan dan memperjuangkan hak-hak mereka. Namun, upaya global ini perlu diiringi dengan komitmen dan aksi nyata dari pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mengatasi akar permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi semua.

Kesimpulannya, Hari Perempuan Internasional tahun 2025 menjadi pengingat akan jalan panjang yang masih harus ditempuh untuk mencapai kesetaraan gender di Indonesia. Angka kekerasan berbasis gender yang tinggi menuntut tindakan tegas dan komprehensif dari semua pihak untuk melindungi perempuan dan memastikan hak-hak mereka dihormati dan dipenuhi.