Fenomena 'Kesenjangan Sosial' di Media Sosial: Refleksi Gaya Hidup yang Bertolak Belakang
Media sosial, khususnya platform seperti TikTok dan X, baru-baru ini diramaikan dengan tren yang cukup menggelitik namun sarat makna, yakni tren 'kesenjangan sosial'. Tren ini mewujud dalam format konten percakapan singkat yang menampilkan perbedaan mencolok dalam gaya hidup antara dua individu.
Konten yang beredar umumnya menggambarkan interaksi antara dua orang yang memiliki kedekatan emosional, seperti pasangan atau sahabat, namun berasal dari latar belakang sosio-ekonomi yang berbeda. Meskipun disajikan dengan sentuhan humor, konten-konten ini berhasil menarik perhatian warganet karena dianggap merefleksikan realitas kehidupan sehari-hari yang seringkali terabaikan.
Kesenjangan sosial, secara definisi, merujuk pada kondisi ketidaksetaraan dalam masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan dalam status sosial, ekonomi, tingkat pendidikan, serta akses terhadap sumber daya esensial seperti layanan kesehatan dan lapangan pekerjaan. Dalam konteks ini, tren 'kesenjangan sosial' di media sosial menjadi wadah untuk mengeksplorasi disparitas ini melalui perspektif yang ringan dan relatable.
Salah satu contoh konten yang kerap muncul adalah adegan di mana seseorang keliru mengidentifikasi suara kipas angin sebagai suara hujan. Dialog sederhana seperti "Itu suara apa? Hujan ya di sana?" yang dijawab dengan "Bukan, ini suara kipas" mengilustrasikan bagaimana sebuah perangkat sederhana seperti kipas angin dapat menjadi simbol perbedaan. Bagi sebagian orang, suara kipas angin mungkin menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari sebagai solusi pendingin ruangan yang terjangkau. Namun, bagi yang lain, suara tersebut mungkin terdengar asing karena terbiasa dengan alternatif pendingin yang lebih modern atau tinggal di lingkungan dengan iklim yang berbeda.
Contoh lain yang sering diangkat adalah kebiasaan memarkir sepeda motor di dalam rumah. Bagi individu yang tinggal di hunian sederhana tanpa garasi, memarkir motor di ruang tamu atau bahkan kamar tidur adalah solusi praktis untuk menjaga keamanan kendaraan. Namun, bagi mereka yang memiliki akses ke rumah dengan halaman luas atau garasi, praktik ini mungkin dianggap tidak lazim. Perbedaan akses terhadap fasilitas perumahan seperti ini menjadi manifestasi nyata dari kesenjangan sosial yang seringkali tersembunyi di balik rutinitas sehari-hari.
Lebih jauh lagi, tren ini juga menyoroti perbedaan dalam preferensi gaya hidup yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Misalnya, ajakan makan malam di restoran mewah mungkin menjadi hal yang lumrah bagi sebagian orang, namun bisa menjadi beban finansial bagi yang lain yang lebih terbiasa memasak di rumah untuk menghemat pengeluaran. Demikian pula, ajakan menonton film di bioskop, yang dianggap sebagai hiburan standar oleh sebagian orang, mungkin dipandang sebagai kemewahan oleh mereka yang memiliki prioritas keuangan yang berbeda.
Melalui konten-konten yang viral ini, warganet diajak untuk merenungkan kembali makna kesenjangan sosial dan bagaimana hal itu termanifestasi dalam interaksi sehari-hari. Tren 'kesenjangan sosial' di media sosial bukan hanya sekadar hiburan semata, tetapi juga cermin yang memantulkan realitas kompleks masyarakat modern.