Kesiapan Pekerja Indonesia Hadapi Era AI Terhambat Tingkat Pendidikan

Pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempersiapkan angkatan kerja untuk era kecerdasan buatan (AI). Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyoroti bahwa mayoritas pekerja di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah, menjadi kendala utama dalam penguasaan teknologi AI.

Menaker mengungkapkan bahwa lebih dari separuh angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Jika ditambahkan dengan lulusan sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), proporsi pekerja dengan pendidikan menengah ke bawah mendominasi. Kondisi ini menyulitkan upaya reskilling dan upskilling yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dan peluang di era AI dan ekonomi hijau.

"Kita latih, ada program yang namanya skilling, reskilling, upskilling," ujar Menaker di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (2/5/2025).

Program pelatihan vokasi yang ada, melalui balai latihan kerja (BLK) yang tersebar di seluruh Indonesia, berfokus pada peningkatan keterampilan (skilling), pelatihan ulang (reskilling), dan peningkatan keahlian (upskilling). Namun, Menaker mengakui bahwa dengan profil pendidikan pekerja yang didominasi lulusan SMA dan SMK, upaya untuk membekali mereka dengan keterampilan AI menjadi tantangan tersendiri. Negara lain sudah jauh lebih maju dengan mempersiapkan tenaga kerja siap AI.

Di sisi lain, ironisnya, angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi juga masih tinggi. Yassierli menyebutkan bahwa terdapat sekitar 850.000 pengangguran yang merupakan lulusan universitas. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri saat ini.

Secara keseluruhan, tingkat pengangguran di Indonesia saat ini berada di angka 4,91 persen. Pemerintah menyadari perlunya langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah ini. Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Emmanuel Ebenezer (Noel) sebelumnya telah memperingatkan bahwa disrupsi AI berpotensi menghilangkan 83 juta pekerjaan, sementara hanya 69 juta pekerjaan baru yang akan tercipta. Jika tidak ada persiapan yang matang, kesenjangan keterampilan dan pengangguran akan semakin melebar.

Wamenaker menekankan pentingnya kebijakan afirmatif yang inklusif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Pemerintah tidak hanya perlu menyusun regulasi yang adil, tetapi juga mendorong pembentukan lembaga pengawasan teknologi dan ketenagakerjaan untuk memastikan tidak ada pihak yang tertinggal dalam transformasi ini.

Pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui berbagai program pendidikan dan pelatihan. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana meningkatkan tingkat pendidikan angkatan kerja secara keseluruhan dan memastikan bahwa lulusan pendidikan tinggi memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja di era digital.