Polemik Status Justice Collaborator dalam Kasus Suap Hakim Surabaya Mencuat: Jaksa Agung Soroti Rekomendasi LPSK

Polemik mengenai status justice collaborator (JC) dalam kasus dugaan suap yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memasuki babak baru. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyoroti pentingnya rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai dasar penentuan seorang pelaku dapat ditetapkan sebagai JC.

Dalam surat replik yang diajukan terhadap pembelaan (pleidoi) dua hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik dan Mangapul, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung menyinggung mekanisme penerapan status saksi pelaku yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Kedua hakim tersebut sebelumnya menyatakan kekecewaan karena permohonan mereka untuk menjadi JC tidak diakomodasi dalam surat tuntutan yang diajukan kepada majelis hakim.

JPU Kejagung menjelaskan bahwa Surat LPSK Nomor R0277/1/LPSK/01/2020 tanggal 23 Januari 2020 mengatur secara rinci mengenai mekanisme penerapan saksi pelaku. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan dasar hukum bagi penanganan khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan oleh seorang JC.

“Dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksiannya yang diberikan,” tegas JPU Kejagung dalam sidang replik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (2/5/2025).

Lebih lanjut, JPU mengutip Pasal 10 Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur tentang pemberian penghargaan kepada JC. Pasal tersebut menyatakan bahwa LPSK memberikan rekomendasi tertulis kepada jaksa untuk dimuat dalam tuntutan yang diajukan kepada hakim. Rekomendasi dari LPSK ini menjadi pertimbangan penting bagi hakim dalam mengambil keputusan.

“Dalam ketentuan ini, hakim memperhatikan dengan sungguh-sungguh rekomendasi dari LPSK yang dimuat dalam tuntutan penuntut umum,” imbuh JPU.

Meski demikian, dalam repliknya, JPU tidak secara eksplisit menyebutkan apakah Mangapul dan Erin telah atau belum mendapatkan rekomendasi dari LPSK untuk menjadi JC. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai alasan permohonan keduanya tidak diakomodasi dalam surat tuntutan.

Terpisah, kuasa hukum Erin dan Mangapul, Philipus Jarapenta Sitepu, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan kliennya untuk menjadi JC kepada LPSK sejak 18 Februari 2025. Namun, Philip belum memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai status permohonan tersebut, apakah telah dikabulkan atau masih dalam proses.

Sebelumnya, Erin, Mangapul, dan tim kuasa hukumnya menyatakan kekecewaan atas tuntutan 9 tahun penjara yang diajukan oleh jaksa. Mereka juga merasa keberatan karena permohonan untuk menjadi JC tidak diakomodasi dalam surat tuntutan. Menurut Philip dan kliennya, pengungkapan kasus dugaan suap hakim PN Surabaya untuk membebaskan Ronald Tannur tidak akan terjadi tanpa sikap kooperatif Erin dan Mangapul.

“Kami berharap (tuntutan) lebih ringan daripada itu,” ujar Philipus usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (22/4/2025).

Erin dan Mangapul merupakan dua dari tiga terdakwa dalam kasus suap terkait penanganan perkara pembunuhan Ronald Tannur di PN Surabaya. Dalam kasus ini, jaksa menuntut Erin dan Mangapul dengan hukuman 9 tahun penjara. Sementara itu, hakim lainnya, Heru Hanindyo, dituntut dengan hukuman yang lebih berat, yaitu 12 tahun penjara.

Selain pidana badan, ketiganya juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan. Mereka dinilai terbukti menerima suap untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur. Kasus ini menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan mengenai integritas dan independensi lembaga peradilan.