Aksi Represif Aparat Kepolisian Terhadap Jurnalis Warnai Peringatan May Day di Semarang

Aksi unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day di Semarang, Jawa Tengah, diwarnai dengan tindakan represif dari aparat kepolisian terhadap sejumlah jurnalis yang tengah melakukan peliputan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengecam keras tindakan tersebut dan menuntut agar pelaku kekerasan diusut tuntas.

Korban kekerasan yang teridentifikasi antara lain Jamal Abdun Nasr, seorang wartawan dari media Tempo. Jamal mengalami serangkaian tindakan intimidasi dan kekerasan fisik di dua lokasi berbeda saat meliput aksi demonstrasi tersebut. Insiden pertama terjadi di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, di mana Jamal mengalami penghalangan, dipiting lehernya, dan nyaris dibanting oleh oknum aparat kepolisian.

Kejadian kedua terjadi di kawasan Universitas Diponegoro (Undip) Pleburan. Saat itu, Jamal dan beberapa jurnalis lainnya sedang berada di trotoar di depan gerbang utama kampus. Ketika terdengar keributan dari dalam kampus, para jurnalis berinisiatif mendekat untuk mengamati situasi. Namun, mereka langsung diinterogasi dan dituduh melakukan perekaman oleh sejumlah aparat berpakaian preman.

Menurut pengakuan Jamal, salah seorang aparat bahkan sempat melontarkan kalimat bernada ancaman. Meskipun Jamal telah menjelaskan identitasnya sebagai seorang jurnalis, ia justru menjadi sasaran kekerasan. Jamal mengaku dipukul tiga kali di bagian kepala oleh seorang aparat berbadan besar. Ironisnya, saat kejadian, Wakapolda Jawa Tengah, Brigjen Latief Usman, berada di lokasi dan berusaha merangkul Jamal dengan alasan untuk mengamankan dirinya.

Selain Jamal, kekerasan juga menimpa seorang pimpinan redaksi pers mahasiswa berinisial DS. DS mengalami pemukulan di bagian wajah oleh aparat berpakaian sipil saat merekam tindakan kekerasan terhadap peserta aksi. Akibatnya, DS mengalami luka robek dan harus mendapatkan perawatan medis berupa jahitan di pipi. Beberapa anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari berbagai universitas di Semarang juga dilaporkan mengalami intimidasi saat melakukan peliputan.

Ketua AJI Kota Semarang, Aris Mulyawan, menyatakan bahwa tindakan aparat kepolisian tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers dan merupakan ancaman bagi demokrasi. Ia menegaskan bahwa tugas jurnalistik dilindungi oleh undang-undang, dan aparat yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggar hukum. AJI Kota Semarang mendesak agar pelaku kekerasan terhadap jurnalis diusut tuntas dan diproses sesuai hukum yang berlaku.

AJI juga mengingatkan bahwa Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur bahwa tindakan menghalangi kerja pers dapat dipidana dengan hukuman maksimal dua tahun penjara atau denda sebesar Rp 500 juta. Sementara itu, pendamping hukum aksi May Day, M Fajar Andika, mengungkapkan bahwa masih ada sejumlah mahasiswa yang ditahan oleh pihak kepolisian terkait aksi tersebut.