Perjuangan Kasiadi dan Istri: Dari Loper Koran dan Penjual Gorengan Hingga Impian Haji Terwujud
Di tengah hiruk pikuk Kota Pasuruan, tepatnya di Jalan Hayam Wuruk, Kelurahan Kebonsari, Mohamad Kasiadi (68) memulai harinya. Bukan dengan bersantai, melainkan dengan menata tumpukan koran di kios sederhananya. Dengan telaten, ia memilah lembaran-lembaran berita, sesekali menyapa pelanggan yang melintas dengan senyum ramah.
Tak jauh dari sana, sang istri, Puriyanti Rahayu (68), menyiapkan peralatan untuk menjajakan gorengan. Wajan, spatula, kompor gas, semuanya ditata rapi di gerobak kecilnya. Pemandangan ini adalah rutinitas sehari-hari pasangan suami istri ini. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Kasiadi dan Puriyanti akan segera menunaikan ibadah haji pada tahun 2025, tergabung dalam kloter 90 dan dijadwalkan berangkat dari Bandara Juanda Surabaya pada 29 Mei 2025.
Kasiadi mengenang awal mula perjuangannya. Sejak tahun 1980, ia menekuni profesi sebagai loper koran, pekerjaan sampingan saat masih menjadi buruh pabrik. Dengan sabar dan tekun, ia menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung. Impian untuk menunaikan rukun Islam kelima itu terus membara dalam hatinya. Pada tahun 2012, penantiannya membuahkan hasil. Ia dan istri berhasil mendaftar haji dengan total biaya Rp 50 juta.
Kios koran berukuran 1x2 meter itu menjadi saksi bisu perjuangan Kasiadi. Di sanalah ia menghabiskan sebagian besar waktunya. Sementara itu, Puriyanti setia mendampingi dengan menjajakan gorengan, mulai dari pisang goreng, ote-ote, tahu goreng, hingga tempe goreng. Ia dibantu oleh keponakannya untuk menyiapkan dan menjual gorengan setiap hari.
Kasiadi mengakui bahwa bisnis koran mengalami penurunan yang signifikan. Masa kejayaan koran pada era 2000-an telah berlalu. Dulu, ia bisa menjual hingga 400 eksemplar koran setiap hari. Namun, kini, dengan hadirnya koran elektronik dan media sosial, jumlah pelanggannya terus merosot.
Meski demikian, kemerosotan bisnis koran tidak menyurutkan niat Kasiadi dan Puriyanti untuk berangkat haji. Bahkan, mereka rela menjual mobil, aset berharga yang tersisa dari hasil berjualan koran dan gorengan, untuk melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih). Bagi mereka, kesempatan untuk menunaikan ibadah haji adalah anugerah yang tak ternilai harganya. Penantian selama 13 tahun membuat mereka semakin bersemangat untuk mewujudkan impian tersebut.
Perjalanan ibadah haji bagi Kasiadi dan Puriyanti bukan sekadar menjalankan rukun Islam. Lebih dari itu, ini adalah perjalanan spiritual yang mengajarkan tentang kesabaran, keikhlasan, dan pengorbanan. Mereka ingin merasakan indahnya merelakan waktu, tenaga, dan harta untuk menyempurnakan diri sebagai seorang muslim.
Kabar keberangkatan Kasiadi dan Puriyanti ke Tanah Suci disambut gembira oleh warga Kota Pasuruan. Abdullah Fahmi, seorang pembimbing haji, mengatakan bahwa semangat spiritualitas pasangan ini patut dicontoh. Dengan kesederhanaan hidup, mereka mampu mewujudkan impian untuk menunaikan ibadah haji.
"Haji itu tidak semua orang bisa melaksanakan. Kaya atau punya uang banyak, belum tentu punya kesempatan untuk berangkat. Jadi harus niat dan harus diperjuangkan atau diusahakan dengan sungguh-sungguh, seperti Pak Kasiadi itu luar biasa," ungkap Abdullah Fahmi.