Sidang Uji Materi Pasal 'Sapu Jagat' UU Tipikor Ditunda, MK Pertimbangkan Penggabungan Perkara
Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang pengujian materiil terhadap Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dikenal luas sebagai pasal 'sapu jagat'. Penundaan ini dilakukan pada sidang yang seharusnya digelar pada Jumat, 2 Mei 2025.
Agenda sidang dengan nomor perkara 161/PUU-XXII/2024 sedianya mendengarkan keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden. Namun, sidang terpaksa ditunda karena pemerintah belum menyatakan kesiapan, meskipun DPR telah diwakili oleh anggota Komisi III, Nasir Djamil.
"Agenda persidangan hari ini adalah mendengarkan keterangan dari DPR dan Presiden. Akan tetapi, pihak pemerintah belum siap dan mengajukan permohonan penundaan," kata Ketua MK, Suhartoyo, di ruang sidang MK.
Lebih lanjut, Suhartoyo mengusulkan agar perkara ini digabungkan dengan sejumlah permohonan lain yang memiliki isu serupa, terutama yang berkaitan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Tujuan dari penggabungan ini adalah untuk meningkatkan efisiensi proses persidangan.
"Terdapat beberapa perkara lain dengan isu yang identik. Bagaimana jika Mahkamah menggabungkannya demi efisiensi pemberian keterangan? Dengan demikian, kita tidak perlu berulang kali memberikan keterangan untuk isu yang sama," ujar Suhartoyo kepada Nasir Djamil yang hadir secara virtual.
Menanggapi usulan tersebut, Nasir Djamil menyatakan persetujuannya. "Kami menyerahkan sepenuhnya kepada majelis yang mulia, dan kami akan selalu mendukung upaya pemberian keterangan di MK," katanya.
Dengan adanya keputusan penundaan dan potensi penggabungan perkara, MK akan segera menjadwalkan ulang sidang gabungan dan menyampaikan pemberitahuan resmi kepada semua pihak terkait, termasuk pemohon dan pemerintah.
"Kami akan mengirimkan surat kepada pihak-pihak lain yang memiliki perkara dengan isu serupa. Mohon dimaklumi, meskipun DPR telah siap, namun demi efisiensi dan kejelasan proses, persidangan akan kami gabungkan," tegas Suhartoyo.
Perkara ini diajukan oleh mantan Direktur PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, yang sebelumnya divonis 4 tahun penjara oleh Mahkamah Agung dalam kasus korupsi terkait penyewaan pesawat jenis Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 di PT Merpati Nusantara Airlines. Dalam kasus tersebut, ia dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor, yang kini ia gugat ke MK.
Menurut Hotasi, penerapan pasal-pasal tersebut menimbulkan masalah karena terjadi pergeseran praktik yang menjerat setiap orang yang dalam kasusnya terdapat kerugian negara menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, menurutnya, kerugian keuangan atau perekonomian negara yang timbul bukan berasal dari perbuatannya.
Ia berpendapat bahwa proses pembuktian perkaranya hanya ditarik dari fakta-fakta terpisah yang kemudian dirajut sedemikian rupa untuk menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, meskipun bentuk kesalahan pelaku dimaknai secara sangat luas. Pemohon berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor harus secara eksplisit merumuskan delik untuk kesengajaan (opzet), yang dalam hal ini bentuk kesengajaannya adalah kesengajaan sebagai maksud, sehingga rumusan dalam undang-undang harus berbunyi "setiap orang dengan maksud dst…".
Hal ini sejalan dengan Pasal 28 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi di Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), yang menyatakan bahwa pengetahuan, maksud, atau kehendak yang menjadi elemen dari kejahatan harus ditarik dari keadaan-keadaan faktual yang objektif.
Menurut Hotasi, karena rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak memuat rumusan dengan maksud merugikan keuangan atau perekonomian negara, ia dipidana meskipun tidak dapat dibuktikan bahwa ia dengan sengaja/dengan niat jahat/mens rea merugikan keuangan atau perekonomian negara dan mendapatkan keuntungan. Padahal, kerja sama yang dilakukannya murni sebagai keputusan bisnis untuk menyelamatkan keuangan PT Merpati Nusantara Airlines, yang telah diambil dengan itikad baik sesuai prosedur dan prinsip Business Judgement Rules (BJR), tanpa benturan konflik/kepentingan maupun kick-back untuk dirinya.