Dominasi Stainless Steel: Mayoritas Nikel Indonesia Belum Dimanfaatkan untuk Baterai Kendaraan Listrik

Indonesia, sebagai salah satu produsen nikel terkemuka di dunia, menghadapi tantangan dalam optimalisasi pemanfaatan sumber daya alamnya. Di tengah gempuran inovasi teknologi baterai untuk kendaraan listrik, ironisnya, sebagian besar nikel yang dihasilkan di Indonesia justru dialokasikan untuk produksi stainless steel, bukan sebagai komponen utama baterai kendaraan listrik.

Menurut Puryanto, General Manager Lisence and Government Relation PT Mobil Anak Bangsa (MAB), pada sebuah diskusi di PEVS 2025, hanya sebagian kecil dari total produksi nikel Indonesia yang dimanfaatkan untuk industri baterai. Persentase tersebut berada di angka sekitar 19 persen. Sementara itu, lebih dari 60 persen nikel Indonesia digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan stainless steel. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai strategi pengembangan industri baterai nasional dan upaya untuk meningkatkan nilai tambah nikel di dalam negeri.

Baterai, yang sering diibaratkan sebagai jantung dari kendaraan listrik, memang menjadi fokus utama dalam pengembangan teknologi otomotif masa depan. Produsen mobil berlomba-lomba menciptakan baterai yang lebih efisien, berkapasitas besar, dan mampu memberikan jangkauan tempuh yang lebih jauh. Saat ini, dua jenis baterai yang umum digunakan pada kendaraan listrik adalah Lithium Iron Phosphate (LFP) dan Nickel Manganese Cobalt (NCM).

Baterai NCM, yang memiliki keunggulan dalam kepadatan energi dan bobot yang ringan, sangat ideal untuk kendaraan listrik karena mendukung efisiensi energi dan memiliki daya tahan yang baik. Namun, produksi NCM masih bergantung pada impor bahan baku seperti kobalt dan lithium. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi Indonesia, yang memiliki potensi besar dalam nikel, tetapi masih harus mengimpor komponen lain untuk memproduksi baterai secara mandiri.

Kondisi ini menyoroti perlunya strategi yang lebih komprehensif dalam pengembangan industri baterai di Indonesia. Upaya peningkatan nilai tambah nikel, diversifikasi penggunaan nikel, dan pengembangan rantai pasok baterai yang terintegrasi menjadi kunci untuk mewujudkan kemandirian energi dan mendorong pertumbuhan industri kendaraan listrik nasional. Selain itu, investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi baterai lokal juga menjadi sangat penting untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan menciptakan inovasi yang sesuai dengan karakteristik sumber daya alam Indonesia.