Kontroversi Outsourcing: Antara Efisiensi Perusahaan dan Hak Pekerja di Bawah Pemerintahan Prabowo

Dilema Outsourcing di Indonesia: Upaya Penghapusan di Tengah Tekanan Ekonomi

Praktik outsourcing, atau alih daya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap ketenagakerjaan di Indonesia. Kendati dipandang sebagai solusi efisien bagi perusahaan untuk menekan biaya operasional, keberadaan outsourcing terus memicu perdebatan sengit, terutama dari kalangan pekerja yang merasa hak-hak mereka terabaikan.

Sorotan terhadap sistem kerja yang dianggap merugikan ini kembali menguat setelah Presiden Prabowo Subianto menyampaikan niatnya untuk menghapus outsourcing dalam pidatonya pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025 di Jakarta. Komitmen penghapusan ini akan diupayakan melalui pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional.

Akar Masalah Outsourcing

Secara definisi, outsourcing merujuk pada penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan perusahaan kepada pihak ketiga melalui perjanjian pemborongan atau penyediaan jasa tenaga kerja. Praktik ini memungkinkan perusahaan untuk mengalihkan pekerjaan-pekerjaan penunjang seperti keamanan, kebersihan, katering, atau call center kepada perusahaan outsourcing. Legalisasi outsourcing di Indonesia pertama kali diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 2003 pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sejak saat itu, praktik ini berkembang pesat di berbagai sektor industri.

Perusahaan memilih outsourcing karena berbagai alasan, terutama untuk menekan biaya operasional. Dengan sistem ini, perusahaan tidak perlu direpotkan dengan urusan administratif seperti gaji, tunjangan, asuransi, atau pesangon pekerja. Selain itu, outsourcing juga memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan tenaga kerja, memungkinkan perusahaan merekrut pekerja sesuai kebutuhan tanpa memberikan jaminan kerja jangka panjang. Namun, bagi kalangan buruh, outsourcing dianggap sebagai bentuk pemiskinan struktural.

Suara Buruh dan Janji Pemerintah

Dalam setiap peringatan Hari Buruh, penghapusan outsourcing selalu menjadi tuntutan utama. Buruh menilai sistem ini menciptakan ketidakpastian status kerja, gaji rendah, minimnya jaminan sosial, dan potensi pemecatan sewenang-wenang. Presiden Konfederasi Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (K-ASPEK), Muhamad Rusdi, menyoroti bahwa outsourcing dapat menyebabkan hilangnya stabilitas pekerjaan, pengurangan hak-hak pekerja, dan penurunan kesejahteraan.

Menanggapi aspirasi tersebut, Presiden Prabowo mengumumkan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional sebagai langkah awal untuk menghapuskan outsourcing. Dewan ini akan melibatkan perwakilan buruh dari seluruh Indonesia dan bertugas memberikan masukan kepada Presiden terkait perbaikan regulasi yang dianggap tidak berpihak kepada pekerja. Prabowo juga menegaskan dukungannya terhadap penghapusan outsourcing dan menekankan bahwa Dewan Kesejahteraan Buruh akan mengkaji mekanisme transisi yang mempertimbangkan iklim investasi.

Tantangan Penghapusan Outsourcing

Namun, janji penghapusan outsourcing bukanlah tugas yang mudah. Kondisi perekonomian global yang tertekan akibat perang dagang dan kebijakan tarif impor baru dapat berdampak pada rantai pasok dan permintaan ekspor. Di dalam negeri, dampak pelemahan ekonomi juga mulai terasa, dengan ribuan kasus PHK tercatat dalam beberapa bulan terakhir. Dalam situasi ini, perusahaan-perusahaan mungkin akan semakin mengandalkan outsourcing sebagai strategi untuk bertahan.

Oleh karena itu, penghapusan outsourcing memerlukan kajian mendalam dan solusi komprehensif yang dapat melindungi hak-hak pekerja tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi dan iklim investasi. Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional diharapkan dapat memainkan peran penting dalam mencari jalan tengah yang adil bagi semua pihak.