Menakar Kemiskinan di Indonesia: Telaah Perbedaan Metode Pengukuran BPS dan Bank Dunia

Fenomena kemiskinan selalu menjadi isu krusial yang tak lekang oleh waktu. Baru-baru ini, metode pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi sorotan publik. Muncul pertanyaan dan bahkan keraguan mengenai validitas garis kemiskinan yang ditetapkan BPS, yang dianggap sebagian kalangan terlalu rendah dan tidak mencerminkan realita di lapangan. Kecurigaan akan adanya manipulasi data untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan pun mencuat.

Pengukuran kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Proses ini esensial dalam upaya mengentaskan masyarakat dari jerat kemiskinan. Bank Dunia, dalam laporan "World Development Report 1990", menekankan pentingnya mengetahui jumlah penduduk miskin, lokasi mereka, dan kondisi ekonomi mereka secara spesifik sebagai langkah awal untuk memahami dampak kebijakan ekonomi terhadap kelompok rentan ini. Namun, mengukur kemiskinan bukanlah perkara sederhana. Kemiskinan adalah isu multidimensional yang kompleks. Persepsi tentang kemiskinan pun dinamis, berubah seiring waktu, dan berbeda antar budaya serta wilayah. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, semakin bergeser pula persepsi mengenai kemiskinan.

Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimal. Pengukuran dilakukan dengan mengkuantifikasi standar hidup minimal tersebut untuk mengklasifikasikan individu atau rumah tangga sebagai miskin atau tidak miskin. Pengeluaran rumah tangga atau individu untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan (dengan standar asupan kalori minimum 2.100 kilo kalori per hari) dan non-makanan (seperti sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan) seringkali menjadi indikator yang dipilih. Alasannya, nilai pengeluaran untuk berbagai kebutuhan tersebut dianggap representatif dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan. Batas minimum pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai garis kemiskinan. Mereka yang hidup dengan pengeluaran di bawah garis ini dikategorikan sebagai penduduk miskin. Pendekatan moneter ini, meskipun menyederhanakan dimensi kemiskinan, telah menjadi standar yang digunakan oleh Bank Dunia dan diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia melalui BPS sejak 1998.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Bank Dunia dan BPS menggunakan metodologi yang serupa dalam mengukur kemiskinan. Bank Dunia bahkan memanfaatkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikumpulkan oleh BPS untuk menghitung jumlah penduduk miskin di Indonesia. Namun, mengapa terdapat perbedaan antara garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia dan BPS?

Bank Dunia memiliki kepentingan untuk memantau perkembangan pengentasan kemiskinan secara global. Oleh karena itu, diperlukan garis kemiskinan global absolut untuk memungkinkan perbandingan antar negara dan agregasi data secara global. Hal ini sulit dicapai jika hanya mengandalkan garis kemiskinan spesifik dari masing-masing negara. Dengan kata lain, garis kemiskinan Bank Dunia dirancang dalam konteks global dan belum tentu merepresentasikan karakteristik unik dari setiap negara, termasuk Indonesia. Garis kemiskinan global dinyatakan dalam dollar Purchasing Power Parity (PPP) atau paritas daya beli untuk memastikan kesetaraan daya beli antar negara. Konversi garis kemiskinan Bank Dunia ke dalam mata uang Rupiah tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan kurs nilai tukar dollar AS terhadap Rupiah. Sebagai contoh, 1 dollar PPP pada tahun 2024 setara dengan Rp 5.993.

Penggunaan garis kemiskinan Bank Dunia sebesar 6,85 dollar PPP per kapita per hari menghasilkan angka kemiskinan sekitar 60 persen atau 172 juta orang di Indonesia. Angka ini merupakan median atau nilai tengah garis kemiskinan dari 37 negara yang termasuk dalam kelompok berpendapatan menengah atas (upper middle-income country) dengan Gross National Income (GNI) per kapita antara 4.516 dollar AS hingga 14.005 dollar AS. Meskipun Indonesia telah masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah atas, GNI per kapita Indonesia pada tahun 2023 hanya sebesar 4.870 dollar AS, sedikit di atas batas atas GNI per kapita negara-negara berpendapatan rendah. Oleh karena itu, penggunaan garis kemiskinan 6,85 dollar AS menghasilkan angka kemiskinan yang relatif tinggi untuk Indonesia, dan belum sepenuhnya representatif. Bank Dunia sendiri tidak secara spesifik merekomendasikan penggunaan garis kemiskinan ini untuk mengukur kemiskinan di Indonesia.

Sebaliknya, garis kemiskinan BPS dirancang khusus untuk konteks Indonesia, sehingga lebih akurat untuk pengukuran dan analisis kemiskinan di tingkat nasional. Bank Dunia dalam publikasinya "Staying the Course" (2015) menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional suatu negara tetap paling sesuai untuk analisis spesifik negara, yang mendasari dialog kebijakan atau program penargetan untuk menjangkau masyarakat termiskin. Garis kemiskinan global dan PPP menetapkan perbandingan lintas negara dan digunakan untuk memantau kemajuan dalam skala global. Garis kemiskinan BPS mempertimbangkan karakteristik pengeluaran dan pola konsumsi masyarakat Indonesia, termasuk variasi pemenuhan kebutuhan dasar antar wilayah. BPS menggunakan garis kemiskinan spesifik untuk setiap provinsi untuk mengakomodasi perbedaan biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar di setiap wilayah. Hal ini tidak memungkinkan jika menggunakan garis kemiskinan Bank Dunia. Sebagai contoh, pada September 2024, garis kemiskinan DKI Jakarta adalah Rp 846.085, Jawa Tengah Rp 521.093, dan Papua Pegunungan Rp 1.079.160. Garis kemiskinan nasional, yang merupakan rata-rata garis kemiskinan seluruh provinsi, adalah Rp 595.242 per orang per bulan atau sekitar Rp 19.841 per kapita per hari. Meskipun terkesan kecil, angka ini setara dengan 3,31 dollar AS PPP per kapita per hari, mendekati garis kemiskinan Bank Dunia untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower middle-income country) sebesar 3,65 dollar PPP per kapita per hari, yang merupakan nilai tengah dari 54 negara lower-middle income.

Perlu dipahami bahwa garis kemiskinan berfungsi untuk membedakan antara kelompok miskin dan tidak miskin, bukan antara kelompok miskin dan kaya. Kelompok tidak miskin juga mencakup mereka yang hampir miskin, yang kondisi sosial-ekonominya seringkali tidak jauh berbeda dengan kelompok miskin. Pada September 2024, jumlah penduduk hampir miskin (dengan pengeluaran per kapita per bulan antara Rp 595.242 – Rp 892.863) mencapai 68,51 juta orang atau sekitar 24,42 persen dari total penduduk Indonesia.

Terlepas dari perbedaan metodologi, garis kemiskinan Bank Dunia dan BPS saling melengkapi dalam memperkaya analisis kemiskinan di Indonesia. Perbedaan angka kemiskinan yang dihasilkan kedua institusi disebabkan oleh perbedaan pendekatan dalam menyusun garis kemiskinan, bukan karena manipulasi data. Lebih lanjut, hasil pengukuran kemiskinan dari kedua institusi menunjukkan tren yang konsisten, yaitu penurunan angka kemiskinan di Indonesia dalam dua dekade terakhir, mengkonfirmasi keberhasilan Indonesia dalam menekan angka kemiskinan.