Bencana Banjir Bandang Puncak Bogor: Akibat Alih Fungsi Lahan dan Minimnya Pengawasan Pemerintah

Bencana Banjir Bandang Puncak Bogor: Akibat Alih Fungsi Lahan dan Minimnya Pengawasan Pemerintah

Banjir bandang yang menerjang Puncak, Bogor, beberapa waktu lalu, bukan semata-mata disebabkan oleh faktor alam. Hujan deras memang menjadi pemicunya, namun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menunjuk jari pada deforestasi masif dan alih fungsi lahan sebagai penyebab utama bencana tersebut. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwang, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan di kawasan Puncak telah terjadi secara sistematis dan berlangsung selama bertahun-tahun. Proses ini telah menghilangkan daya serap tanah, mempercepat aliran air, dan memicu bencana hidrologi yang dampaknya meluas hingga ke daerah hilir.

Iwang memaparkan, alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan Puncak, terutama di area perkebunan yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara VIII, telah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Walhi memperkirakan, dalam lima tahun terakhir, kerusakan lahan meningkat drastis hingga hampir 45%, dan saat ini diperkirakan telah mencapai 65%. Artinya, lebih dari separuh wilayah Puncak Bogor telah mengalami kerusakan lingkungan yang serius. Kerusakan ini ditandai dengan beralihnya fungsi hutan dan lahan resapan air menjadi kawasan vila, hotel, perumahan, dan objek wisata yang pembangunannya seringkali mengabaikan aspek lingkungan.

  • Beberapa faktor yang memperparah kerusakan lingkungan di kawasan Puncak, antara lain:
    • Alih fungsi lahan: Perubahan lahan hutan dan resapan air menjadi kawasan permukiman, perhotelan, dan wisata. Proses ini menghilangkan fungsi ekologis lahan dan mempercepat aliran air saat hujan.
    • Pembangunan yang tak terkendali: Banyak pengembang yang diduga mengabaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) demi mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek. Dokumen-dokumen tersebut seringkali hanya menjadi formalitas perizinan, bukan pedoman pembangunan berkelanjutan.
    • Aktivitas pertambangan ilegal: Pertambangan pasir dan batu secara ilegal semakin merusak struktur tanah, meningkatkan erosi, dan menambah kerentanan terhadap bencana.
    • Minimnya Pengawasan Pemerintah: Walhi juga mengkritik lemahnya pengawasan pemerintah terhadap tata guna lahan dan pembangunan di kawasan Puncak. Banyak bangunan yang dibangun tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, sementara upaya konservasi dan pemulihan lingkungan masih sangat minim.
    • Izin usaha yang meragukan: Ada dugaan kesengajaan pemerintah dalam memberikan izin usaha di kawasan Puncak demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), meskipun hal tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Kawasan Puncak, termasuk Gunung Mas, memiliki status L4 (kawasan perlindungan tanah dan air) dan L1 (zona resapan air), yang seharusnya dilindungi dari intervensi pembangunan yang berlebihan.

Kesimpulannya, bencana banjir bandang di Puncak Bogor merupakan akibat dari akumulasi permasalahan lingkungan yang kompleks dan telah berlangsung lama. Hal ini menjadi pengingat penting akan konsekuensi dari eksploitasi lingkungan yang berlebihan dan tidak bertanggung jawab. Ke depan, dibutuhkan pengawasan yang ketat, penegakan hukum yang tegas, dan komitmen dari semua pihak untuk mengedepankan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan lingkungan. Peringatan para ahli lingkungan selama ini telah diabaikan demi kepentingan ekonomi jangka pendek, dan bencana ini menjadi bukti nyata dari konsekuensi tersebut.