SPBU di Serang Terlibat Pengoplosan Pertamax, Dua Oknum Jadi Tersangka
Aparat kepolisian berhasil membongkar praktik pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang berlokasi di Ciceri, Serang. Akibat dari tindakan ilegal tersebut, dua orang oknum yang bertanggung jawab atas operasional SPBU telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini mendekam di sel tahanan.
PT Pertamina (Persero) memberikan apresiasi atas tindakan cepat dan tanggap yang dilakukan oleh Polda Banten dalam menindaklanjuti laporan terkait dugaan kecurangan yang dilakukan oleh oknum pengelola SPBU 34.421.13 yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten. Dua orang yang kini berstatus tersangka adalah NS (53), yang menjabat sebagai Manajer Operasional SPBU, dan ASW (40), yang bertugas sebagai Pengawas SPBU.
Eko Kristiawan, Area Manager Communication, Relation & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Barat, menjelaskan bahwa kasus pengoplosan BBM ini terungkap pada tanggal 24 Maret 2025. Bermula dari keluhan konsumen mengenai perbedaan warna pada BBM jenis Pertamax yang mereka beli di SPBU tersebut. Setelah dilakukan pengecekan oleh pihak Pertamina, ditemukan adanya indikasi ketidaksesuaian spesifikasi pada BBM yang dijual.
"Diduga kuat, pihak SPBU telah menerima pasokan BBM yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan dan bukan berasal dari Fuel Terminal Pertamina," ungkap Eko dalam keterangan tertulisnya.
Sebagai bentuk tindakan tegas atas pelanggaran yang dilakukan, Pertamina Patra Niaga memberikan surat peringatan dan sanksi berupa penghentian pasokan BBM serta penutupan sementara operasional SPBU hingga tanggal 30 April 2025. "Selama masa sanksi ini, SPBU 34.421.13 Kota Serang tidak diperkenankan untuk beroperasi dan melayani kebutuhan energi masyarakat," tegas Eko.
Pertamina menjamin ketersediaan BBM bagi masyarakat di wilayah Kota Serang dan sekitarnya selama masa penutupan SPBU 34.421.13. Masyarakat dapat memperoleh BBM di SPBU 31.421.01 yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Sumurpecung, Kecamatan Serang, Kota Serang, yang berjarak sekitar 1,2 kilometer dari SPBU yang bermasalah.
AKBP Bronto Budiyono, Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Banten, mengungkapkan bahwa pengelola SPBU 34.421.13 memperoleh pasokan BBM jenis Pertamax bukan dari Pertamina Patra Niaga. Modus operandi yang dilakukan oleh ASW (40), selaku Pengawas SPBU, adalah dengan membeli BBM olahan dari sumber ilegal di wilayah Jakarta sebanyak 18.000 liter dengan harga Rp 10.200 per liter. Sementara itu, NS (53), selaku Manajer Operasional SPBU, mengetahui dan bahkan memerintahkan pembelian BBM olahan dari sumber yang tidak resmi tersebut.
BBM olahan sebanyak 18.000 liter yang dibeli dari seseorang berinisial DH tersebut memiliki warna yang lebih pekat dibandingkan dengan Pertamax yang biasanya diperoleh dari PT Pertamina. Untuk menyamarkan perbedaan warna tersebut, kedua tersangka kemudian memesan kembali Pertamax dari Pertamina sebanyak 8.000 liter.
"Tujuannya adalah untuk mencampur BBM olahan dengan Pertamax asli agar warnanya menyerupai warna BBM jenis Pertamax dari Pertamina Patra Niaga, sehingga dapat dipasarkan atau dijual kembali," jelas Bronto kepada wartawan saat konferensi pers.
Namun, aksi curang kedua tersangka terungkap setelah sejumlah pengendara motor mengeluhkan kendaraannya mengalami masalah setelah mengisi BBM jenis Pertamax di SPBU tersebut. Polisi kemudian melakukan penyelidikan dan menemukan bukti bahwa pengelola SPBU melakukan kecurangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Kecurangan tersebut terungkap setelah penyidik menerima hasil uji laboratorium Pertamina di TBBM Plumpang, Jakarta Utara. Hasilnya menunjukkan bahwa final boiling point (FBP) atau temperatur titik didih dari sampel yang diambil melebihi ambang batas maksimal, yaitu 218,5 derajat Celsius. "BBM dari Pertamina memiliki titik didih 215 derajat Celsius. Sementara dari BBM oplosan tersebut, titik didihnya mencapai 218,5 derajat," terang Bronto.
Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, junto Pasal 55 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda hingga Rp 60 miliar.