Pendangkalan Alur Pelabuhan Pangkalbalam Picu Kenaikan Biaya Logistik di Bangka Belitung

Kondisi alur muara Pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, yang mengalami pendangkalan telah menimbulkan dampak signifikan terhadap aktivitas transportasi laut di wilayah tersebut. Situasi ini mengakibatkan keterlambatan waktu tunggu kapal yang berujung pada peningkatan biaya logistik secara drastis.

Gubernur Bangka Belitung, Hidayat Arsani, dalam peninjauan langsung ke lokasi pada Rabu (30/4/2025) mengungkapkan bahwa kapal-kapal yang melayani rute Sunda Kelapa, Jakarta – Bangka kini harus antre selama tujuh hari untuk dapat memasuki pelabuhan. Padahal, sebelumnya, pelayaran hanya memakan waktu 18 hingga 24 jam.

"Kapal yang tiba hari Rabu kemarin, baru bisa masuk pelabuhan Rabu malam ini," jelas Hidayat, menggambarkan betapa parahnya dampak pendangkalan tersebut.

Kondisi ini menyebabkan biaya operasional kapal melonjak tajam. Biaya yang semula hanya Rp 50 juta, kini membengkak menjadi Rp 200 juta. Kenaikan biaya ini setara dengan biaya pengiriman barang ke Papua.

Menurut Gubernur, situasi ini berpotensi memicu ekonomi biaya tinggi dan inflasi akibat terhambatnya pasokan barang, termasuk kebutuhan pokok dan material konstruksi. Pemerintah Provinsi Bangka Belitung berupaya mencari solusi untuk mengatasi permasalahan ini.

Sebagai solusi jangka pendek, Pemprov Bangka Belitung berencana mengalihkan aktivitas kapal-kapal besar ke Pelabuhan Belinyu atau Sadai, Bangka Selatan. Gubernur Hidayat akan mengundang para pemilik kapal untuk membahas rencana ini.

"Saya akan panggil semua owner kapal untuk membicarakan ini, jangan sampai perekonomian kita lumpuh," tegasnya.

Selain pengalihan rute kapal, solusi jangka panjang yang dipertimbangkan adalah pengerukan alur muara Pelabuhan Pangkalbalam. Pendangkalan telah menyebabkan kedalaman air berkurang hingga 80 sentimeter dari batas minimal 4 meter. Bahkan, beberapa waktu lalu, sebuah kapal yang tengah lego jangkar sempat oleng dan hampir terbalik akibat kondisi ini.

Namun, rencana pengerukan terkendala masalah pendanaan. Estimasi biaya pengerukan mencapai Rp 1 triliun, sementara anggaran daerah dan negara tidak mencukupi.

"Untuk pengerukan ini butuh biaya Rp 1 triliun, sementara APBD dan APBN tak ada uangnya. Nanti kita minta kapal isap timah untuk mengeruk, silakan ambil timahnya, kita akan buat perda atau aturannya bersama DPRD," kata Hidayat.

Dalam kesempatan yang sama, Hidayat juga menegaskan bahwa Jembatan Emas yang melintang di muara pelabuhan tidak akan lagi difungsikan untuk lalu lintas darat. Bagian tengah jembatan akan dibiarkan terbuka untuk memperlancar lalu lintas kapal.

"Sparepart mesin jembatan ini sudah tidak ada lagi, sudah dicari ke berbagai negara, tak ada yang membuatnya. Kalau nanti tiba-tiba macet, kapal tidak bisa lewat di bawahnya, ekonomi kita bisa lumpuh," jelasnya.

Biaya operasional buka-tutup jembatan juga dinilai sangat tinggi, mencapai Rp 1,6 miliar per tahun. Oleh karena itu, Pemprov tidak ingin mengambil risiko melakukan rekayasa teknologi yang membutuhkan waktu dan biaya besar.

"Selama saya menjabat gubernur ini, bagian tengah jembatan kita buka untuk pelayaran," pungkasnya.