Jembatan Emas Pangkalpinang: Dilema Biaya dan Fungsi
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Hidayat Arsani, mengumumkan bahwa Jembatan Eko Maulana Ali Suroso (Emas) yang menghubungkan Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka tidak akan lagi difungsikan sebagai jalur transportasi darat. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan biaya operasional yang tinggi dan kondisi mesin hidrolik jembatan yang sudah usang.
Jembatan yang dibangun dengan skema anggaran multiyears ini, menurut Arsani, akan tetap dalam posisi terbuka di bagian tengahnya. Hal ini dilakukan untuk memprioritaskan kelancaran lalu lintas kapal, yang memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian daerah. Biaya perawatan jembatan yang mencapai Rp 1,6 miliar per tahun menjadi pertimbangan utama dalam keputusan ini.
"Selama lima tahun saya menjabat, jembatan akan selalu dibuka bagian tengahnya. Ini untuk mendukung pelayaran kapal, berhubungan langsung dengan perekonomian kita," ujar Hidayat, menekankan pentingnya kelancaran aktivitas pelayaran.
Menurut Arsani, sistem hidrolik jembatan yang sudah tua dan sulitnya mendapatkan suku cadang menjadi risiko besar. Kerusakan pada jembatan dapat menghambat pelayaran dan merugikan perekonomian. Upaya pencarian suku cadang hingga ke luar negeri pun tidak membuahkan hasil.
"Kalau nanti jembatan rusak tidak bisa diangkat, sementara banyak kapal yang mau lewat, ini akan merugikan perekonomian," jelasnya.
Alternatif pembuatan mesin baru di dalam negeri dinilai tidak efisien karena membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Anggaran yang semula dialokasikan untuk operasional jembatan akan dialihkan untuk proyek pembangunan lain yang lebih mendesak.
Selain masalah jembatan, Hidayat juga menyoroti masalah pendangkalan muara Pelabuhan Pangkalbalam. Pendangkalan ini menyebabkan penurunan kedalaman air hingga 80 sentimeter dari batas ideal 4 meter, yang mengakibatkan peningkatan biaya operasional kapal.
"Karena menunggu pasang surut, biaya kapal menjadi mahal dari Rp 50 juta menjadi Rp 200 juta," kata Hidayat.
Pemerintah berencana untuk memindahkan aktivitas pelabuhan ke Belinyu atau Sadai, serta melakukan pengerukan alur menggunakan kapal isap timah karena keterbatasan anggaran dari APBD dan APBN. Hidayat berharap langkah-langkah ini dapat mengatasi masalah pendangkalan dan meningkatkan efisiensi operasional pelabuhan.