Nasib Pekerja Rentan: Perlindungan Sosial di Tengah Gelombang PHK dan Digitalisasi
Kondisi buruh di Indonesia menjadi sorotan tajam pada peringatan Hari Buruh, 1 Mei 2025. Di tengah ambisi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB per kapita, ironi justru menghantui sebagian besar pekerja, terutama di sektor informal. Mereka berjuang keras namun tetap terperangkap dalam kemiskinan, sebuah potret buram yang kontras dengan gembar-gembor kemajuan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mengungkapkan fakta mencengangkan: sekitar 27,5 juta pekerja, atau 60% dari total tenaga kerja Indonesia, hidup di bawah garis kemiskinan global dengan pendapatan kurang dari 3,65 dollar AS per hari. Angka ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi belum merata dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya para buruh. Ketimpangan semakin melebar akibat kegagalan sistem perlindungan sosial dalam mengantisipasi risiko penurunan kelas sosial.
Ancaman PHK massal akibat digitalisasi dan restrukturisasi industri semakin memperburuk situasi. Pada tahun 2024, lebih dari 70.000 buruh kehilangan pekerjaan, terutama di sektor tekstil, manufaktur, dan teknologi. Kebangkrutan perusahaan besar seperti Sritex, yang menyebabkan 11.000 buruh kehilangan pekerjaan, menjadi bukti nyata rapuhnya ketahanan ketenagakerjaan di Indonesia.
Ironisnya, sebagian besar buruh informal yang bekerja di sektor jasa dan manufaktur, yang notabene paling rentan, tidak memiliki jaminan sosial. Sekitar 70% buruh informal bahkan tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, sehingga mereka tidak memiliki akses terhadap jaminan kehilangan pekerjaan saat terjadi krisis. Tanpa perlindungan sosial yang responsif dan berbasis data real-time, Indonesia berpotensi menciptakan gelombang kemiskinan baru dalam skala besar.
Turunnya kelas sosial buruh bukan hanya tragedi individu, tetapi juga ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dan sosial Indonesia. Kelas menengah yang besar berperan penting sebagai penyangga yang mengurangi ketegangan sosial dan menjaga stabilitas politik. Ketika buruh yang sebelumnya berada di kelas menengah bawah jatuh ke dalam kemiskinan, daya beli nasional akan terpukul, konsumsi rumah tangga melemah, dan ketimpangan semakin lebar. Dampaknya tidak hanya ekonomi, tetapi juga sosial, seperti meningkatnya kriminalitas, ketidakpuasan publik, dan gejolak politik yang berpotensi menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Dalam situasi ini, reformasi perlindungan sosial menjadi sangat mendesak. Kemiskinan buruh bukan hanya berarti kekurangan pendapatan, tetapi juga kehilangan akses terhadap gizi, pendidikan, kesehatan, dan mobilitas sosial. Kenaikan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah atas justru menggeser standar garis kemiskinan global, sehingga jutaan buruh berpotensi masuk ke kategori kemiskinan baru jika tidak ada intervensi negara yang cepat dan efektif.
Sistem perlindungan sosial Indonesia saat ini masih terfragmentasi, reaktif, dan sangat bergantung pada intervensi berbasis krisis. Pada tahun 2024, hanya sekitar 20% korban PHK yang berhasil mengakses bantuan sosial langsung. Hal ini menunjukkan lemahnya deteksi dini terhadap kejatuhan ekonomi individu. Program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah pada Januari 2025 dengan anggaran Rp 71 triliun merupakan langkah positif, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada kemampuan negara melakukan digitalisasi dan integrasi data penerima manfaat.
Digitalisasi perlindungan sosial menjadi peluang besar sekaligus tantangan. Pemerintah mengembangkan sistem Government to Person Payment (G2P) 4.0 dan meluncurkan platform INA Digital untuk memperbaiki penyaluran bantuan sosial berbasis teknologi. Dengan menggunakan Single Sign-On dan integrasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), diharapkan dapat mengurangi duplikasi data bansos dan meningkatkan akurasi identifikasi penerima. Sistem autentikasi biometrik seperti sidik jari dan pengenalan wajah pun mulai diterapkan untuk mempercepat verifikasi dan mencegah penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran.
Namun, pengalaman internasional menunjukkan bahwa digitalisasi tanpa regulasi yang kuat justru dapat memperdalam ketidakadilan. Di Hong Kong, lemahnya intervensi negara membiarkan pekerja platformisasi kehilangan hak-hak dasar seperti jaminan pensiun, kompensasi kecelakaan, dan perlindungan pendapatan. Indonesia tidak boleh jatuh ke dalam jebakan yang sama. Perhatian serius harus diberikan terhadap kesenjangan konektivitas di wilayah timur Indonesia, di mana sebagian besar penduduk masih kesulitan mengakses layanan internet. Literasi digital dan literasi keuangan buruh juga perlu ditingkatkan secara sistematis. Tanpa infrastruktur dan edukasi yang memadai, buruh informal tetap akan menjadi kelompok yang tercecer dari program bantuan berbasis digital.
Reformasi perlindungan sosial Indonesia tidak boleh berhenti pada pendekatan karitatif yang reaktif, melainkan harus dibangun di atas fondasi integrasi data yang proaktif, inklusivitas spasial dan digital, serta keadilan distributif yang berkelanjutan. Reformasi ini harus dirancang tidak hanya untuk merespons kemiskinan yang sudah terjadi, tetapi juga untuk memetakan risiko sosial secara dini dan mencegah kejatuhan rumah tangga pekerja ke dalam kemiskinan struktural.
Perlindungan sosial idealnya berfungsi layaknya sistem radar sosial, memindai dinamika lapangan kerja secara real-time, mengidentifikasi gejala kerentanan, dan secara otomatis mengaktifkan instrumen intervensi ketika buruh mengalami tekanan penghasilan, kehilangan pekerjaan, atau penurunan konsumsi mendasar. Integrasi sistem informasi lintas sektor menjadi syarat mutlak. Basis data seperti DTKS, BPJS Ketenagakerjaan, sistem perpajakan, laporan PHK industri, serta data platform pekerjaan informal harus saling terhubung dalam satu arsitektur nasional berbasis interoperabilitas digital. Dengan begitu, negara dapat melampaui metode survei manual yang lambat, menuju predictive social policy berbasis analitik data yang dapat mengenali “kemiskinan yang sedang tumbuh” sebelum gejalanya memburuk.
Namun, teknologi saja tidak cukup. Desain kelembagaan juga harus mengadopsi prinsip keadilan adaptif. Pemerintah perlu membangun mekanisme keluar dari kemiskinan (graduation) yang memfasilitasi transisi penerima bantuan menuju kemandirian ekonomi melalui jalur produktif, bukan dengan sekadar mencabut bantuan berdasarkan perubahan administratif status sosial. Bantuan sosial seharusnya tidak bersifat pasif, melainkan menjadi platform integratif yang membuka akses kepada pelatihan keterampilan, layanan keuangan mikro, jaminan sosial berbasis kontribusi ringan, hingga konektivitas ke pasar kerja digital yang inklusif. Bansos tidak boleh berhenti sebagai penyangga kehidupan minimum, tetapi harus berkembang menjadi landasan mobilitas vertikal sosial-ekonomi buruh.
Tanpa transformasi mendasar ini, sistem bantuan sosial Indonesia berisiko memperkuat paradoks klasik: subsidi berkelanjutan kepada yang rentan tanpa memberikan jalan keluar dari kerentanan itu sendiri. Di sinilah konsep transformative social protection menjadi relevan, yaitu proteksi sosial yang bukan hanya menjaga, tetapi juga mentransformasi. Ia tidak semata melindungi buruh dari kejatuhan, tetapi juga memampukan mereka untuk bangkit, naik kelas, dan bertahan dalam pasar kerja yang semakin tidak pasti. Hari Buruh 2025 harus menjadi titik tolak untuk membangun sistem proteksi sosial baru yang tidak hanya responsif terhadap krisis, tetapi proaktif dalam menjaga martabat buruh Indonesia. Transformasi digital harus diarahkan bukan hanya untuk meningkatkan efisiensi teknokratik, tetapi juga untuk membangun kembali kepercayaan sosial dan memperkuat solidaritas nasional.