DPR RI Evaluasi Implementasi Putusan MK Terkait UU ITE: Revisi Belum Jadi Prioritas
DPR RI Evaluasi Implementasi Putusan MK Terkait UU ITE: Revisi Belum Jadi Prioritas
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi I tengah mengkaji implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Putusan MK tersebut membatasi pihak yang dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik dalam UU ITE, hanya kepada individu yang menjadi korban langsung.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat secara hukum. Sebagai konsekuensinya, DPR RI akan menyesuaikan peraturan turunan dari UU ITE agar selaras dengan putusan tersebut. Penyesuaian ini dilakukan untuk memastikan bahwa implementasi UU ITE tidak bertentangan dengan interpretasi yang telah ditetapkan oleh MK.
Meski demikian, Dave Laksono menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada agenda yang mengarah pada revisi UU ITE secara menyeluruh. Menurutnya, hasil putusan MK dapat diakomodasi melalui penyesuaian pada aturan-aturan di bawah undang-undang. Fokus utama saat ini adalah memastikan bahwa peraturan pelaksana UU ITE mencerminkan semangat perlindungan individu yang menjadi inti dari putusan MK.
Implikasi Putusan MK
Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa hanya korban individu yang berhak membuat laporan terkait dugaan pencemaran nama baik. Hal ini merupakan respons terhadap permohonan uji materi yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Daniel menggugat sejumlah pasal dalam UU ITE, termasuk Pasal 27A, Pasal 45 ayat (4), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 45A ayat (2), dengan alasan ketidakpastian hukum dalam penanganan perkara ITE, khususnya terkait pencemaran nama baik.
MK mengabulkan sebagian gugatan Daniel dan menyatakan bahwa frasa "orang lain" dalam pasal-pasal tersebut harus ditafsirkan secara sempit, yaitu hanya merujuk pada individu sebagai subjek hukum yang dapat menjadi korban pencemaran nama baik. Dengan demikian, institusi pemerintah, korporasi, atau jabatan tidak dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik berdasarkan pasal-pasal tersebut.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
Dalam pertimbangannya, MK menyoroti pentingnya keseimbangan antara perlindungan terhadap hak individu dan jaminan kebebasan berpendapat. MK mengakui bahwa UU ITE bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan berpendapat, seperti penyebaran informasi palsu atau hoaks yang merugikan masyarakat. Namun, MK juga menekankan bahwa perlindungan terhadap privasi dan reputasi individu harus diberikan secara proporsional dan tidak boleh menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap ruang kebebasan sipil.
MK juga menyoroti ketidakjelasan batasan frasa "orang lain" dalam Pasal 27A UU ITE, yang berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik atau membatasi kebebasan berpendapat. MK membandingkan pasal tersebut dengan Pasal 433 ayat (1) KUHP Tahun 2023, yang secara tegas menyatakan bahwa pencemaran nama baik hanya berlaku jika korbannya adalah individu, bukan lembaga pemerintah atau sekelompok orang. Ketidakjelasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk mempersempit makna frasa "orang lain" dalam UU ITE.
Dengan adanya putusan MK ini, diharapkan penegakan hukum terkait pencemaran nama baik di dunia maya dapat lebih adil dan proporsional, serta tidak digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik atau membatasi kebebasan berpendapat. DPR RI akan terus memantau implementasi putusan MK ini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa UU ITE tetap relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman.